BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah
merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan
yang sesungguhnya. Tiap generasi ada
zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa
depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada
manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang
buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.
Menampilkan
pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi
positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan
berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan
kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai
perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep
ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari
alquran dan hadis nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran
Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah dan
prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta mendorong umatnya
untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.
Kajian-kajian
terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang
diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi.Ini memiliki arti yang sangat penting,
terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana
sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid terhadap pengembangan Ekonomi
Islam?
2. Apa
karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada
masa itu?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan
Abu Ubaid terhadap pengembangan ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang
membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran Abu Yusuf dalam Ekonomi
1. Biografi
Dalam
literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya’qub bin
Ibrahim bin Habib al-anshari Al-Jalbi Al-Kufi al-Baghdadi yang dilahirkan pada
tahun 113 H[1]
dan wafat pada tahun 182 H[2].
Nasab keturunan beliau masih merupakan keturunan dari kaum anshar (pemeluk
islam pertama dan kelompok penolong Nabi SAW di Madinah). Sehingga kata-kata
al-Anshari pada namanya merupakan nisbah dari sebutan nasab tersebut[3].
Ia
memiliki minat yang besar terhadap ilmu, hal ini dibuktikannya dengan banyaknya
kajian ia pahami. Pendidikannya dimulai dari belajar hadits dari beberapa
tokoh.Ia juga ahli dalam bidang fiqh. Berkaitan dengan ini Abu Hanifah
membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya.
Meskipun ia sebagai murid Abu hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat
Abu Hanifah[4].
Abu
Yusuf dikenal sebagai Qadi (hakim), bahkan Qadi al-Qudah, hakim agung, sebuah
jabatan tertinggi dalam lembaga peradilan pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid.[5]
Abu Yusuf merupakan seorang tokoh yang cukup
mempunyai nama besar. Hal ini dikarenakan pola berpikirnya yang maju, dan
beliau juga seorang tokoh yang paling banyak menentukan kebijakan-kebijakan
dalam kehidupan nasyarakat dan bernegara pada masa itu.Selain dari itu, tokoh
ilmuwan yang brillianpun disandangnya.Sebagai bukti adalah karya ilmiah
dan tulisan beliau yang merespon beberapa gejala dan problematika masyarakat
yang berkenaan dengan tatanan sosial dan agama. Di antara karya-karya dan
tulisan beliau adalah sebagai berikut:
· Kitab
al-Atsar.Sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan
dari para gurunya dan juga dari ayahnya.
·
Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila
·
Kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i.Kitab ini memuat
beberapa pendapat dan pandangan Abu Yusuf tentang beberapa hukum Islam yang
merupakan himpunan dari beberapa kritikan dan sanggahan-sanggahan beliau
terhadap pendapat al-Auza’i di seputar perang dan jihad.
·
Kitab Adabu al-Qadhi.Sebuah kitab yang memuat tentang
ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim (Qadhi).
·
Kitab al-Maharij fi al-Haili.Kitab ini memuat tentang
kajian biologi, tentang binatang-binatang dan hal-hal yang berkenaan dengannya.
· Kitab al-Kharaj. Kitab ini merupakan karya monumental
beliau.Selain kitab ini memuat tentang banyak masalah-masalah yang erat
kaitannya dengan fenomena-fenomena sosial, kitab ini pun telah dijadikan
sebagai panduan dalam menentukan kebijakan perekonomian pada masa dinasti
Abbasiyyah, terutama sejak di bawah pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid.
Dengan kitab ini pulalah beliau dinobatkan menjadi faqih dan juga
sebagai tokoh ekonomi muslim klasik. Penekanan kitab karya Abu Yusuf ini
terletak pada tanggung jawab penguasa terhadap kesejahteraan rakyatnya. Secara
umum kitab al-kharaj berisi tentang berbagai ketentuan agama yang membahas
persoalan perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan public. Buku ini
merupakan sebuah upaya untuk membangun system keuangan yang mudah dilaksanakan
sesuai dengan hokum islam dalam kondisi yang selalu berubah dan sesuai dengan
persyaratan ekonomi.[8]
Selain dari beberapa kitab di atas
sebagian ilmuwan menginformasikan tentang masih banyak lagi kitab-kitab yang
ditulis oleh Imam Abu Yusuf, seperti Al-Zakah, al-Shiyam, al-Bai’, al-Faraid,
al-Wasiah, dan lain-lain.
3. Pandangan Ekonomi Abu Yusuf
Abu
Yusuf dalam membenahi sistem perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi
dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa
masyarakat memiliki hak dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya
pemerintah tidak memiliki hak bila ekonomi tidak adil.
Wazifah
dan Muqasamah merupakan dua istilah yang digunakan Abu Yusuf dalam membahas
sistem pungutan pajak. Menurut Abu Yusuf, sistem Wazifah perlu diganti dengan
sistem Musaqamah, karena musaqamah merupakan sistem yang bisa mencapai keadilan
ekonomi.
Yang
sering menjadi perbincangan dan diskusi yaitu ketika konsep agama dan negara
dihadapkan tentang muslim dan non-muslim, diantaranya warga negara yang
non-muslim harus membayar pajak, sedangkan warga muslim tidak diharuskan. Islam
hanya mengakui warga muslim yang mendapat kepastian hukum penuh, sedangkan
non-muslim tidak. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga
kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu
kelompok Harbi, Musta’min, dan Zimmi.
Ketiga
kelompok ini mendapat perhatian khusus dalam pandangan Abu Yusuf, dengan
memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah
sesuai status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan, serta
ketentuan hukum lainnya.Perhatian khusus tersebut diantaranya terlihat dalam
mekanisme penetapan pajak Jizyah terhadap mereka.
Menurut
Abu Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara
transparan, karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling
penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.
Pengaturan
pengeluaran negara, baik berkait dengan Insidental Revenue (Ghanimah
dan Fai’) maupun Permanent Revenue (Kharaj, Jizyah, Ushr, dan
Shadaqah/Zakat) dijelaskan secara transparan pengalokasiannya kepada
masyarakat, terutama kaitannya dengan fasilitas publik.
Transparansi
ini terwujud dalam peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku
dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan
(al-Adalah), kehendak bebas (al-Ikhtiyar), keseimbangan (al-Tawazun), dan
berbuat baik (al-Ikhsan).
Salah
satu upaya untuk mewujudkan visi ekonomi dalam pandangan Abu Yusuf adalah upaya
menciptakan sistem ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi
pemerintah).Dalam hal ini, mekanisme kerja yang beliau tawarkan adalah
analisisnya terhadap regulasi harga yang bertentangan dengan teori supply
and demand.
Bagi
beliau, jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur
utama bagi naik dan turunnya harga, tapi ada kekuatan lain yang lebih
menentukan.
3.2. Keuangan Publik
Ghanimah
adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir
melalui peperangan.
Dikatakan
Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara.Pemasukan dari
ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik.Akan
tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan
sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.
b. Pajak (kharaj)
Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut
dari non muslim.[15]
Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai pajak antara lain[16]
:
1. Wilayah lain (di luar Arab) di bawah
kekuasaan Islam
ü
Wilayah yang diperoleh melalui
peperangan.
ü
Wilayah yang diperoleh melalui
perjanjian damai.
ü
Wilayah yang dimiliki muslim diluar
Arab. (mebayarUsyr)
2. Wilayah yang berada di bawah
perjanjian damai
ü
Penduduk yang kemudian masuk Islam
(membayar Usyr)
ü
Penduduk yang tidak memeluk Islam
(membayar Kharaj)
3. Tanah taklukan
ü Penduduk yang masuk Islam sebelum
kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan
harus membayar Usyr.
ü Tanah taklukan tidak diserahkan dan
tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar Kharaj
ü Tanah yang dibagikan kepada para
pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
ü Tanah yang ditahan Negara, maka
kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.
Diantara
objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah : pertama, zakat pertanian. Jumlah
pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung
dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyah menurut
abu yusuf adalah :
1. lahan yang termasuk jazirah arab,
meliputi hijaz, makkah, madinah dan yaman.
2. tanah tandus / mati yag dihidupkan
kembali oleh orang islam.
3. setiap tanah taklukan yang dibagikan
kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar
4. tanah yang diberikan kepada orang
islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang
yang berjasa bagi Negara.
5. tanah yang dimiliki oleh orang islam
dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan
keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau
melahirkan diri dari peperagan.
Kedua,
objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat dari hasil mineral atau
barang tambang lainnya.Abu yusuf dan ulama hanafiyah berpendapat bahwa standar
zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti ganimah 1/5 atau 20% dari
total produksi.
Fay’
adalah segala sesuatu yag dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa
peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut,
jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua
harta fay’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr
merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait
Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan
tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan
mewujudkan kemaslahatan Umat.
Usyr
merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah
dan penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan Negara islam. Usyr dibayar
dengan cash atau barang. Abu yusuf, melaporka bahwa abu musa al- as’ari, salah
seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah umar bahwa para pedagang
muslim dikenakan bea dengan tarif sepersepuluh di tanah – tanah harbi. Khalifah
umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea dari
mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang muslim.
Tarif
usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslim maka ia akan
dikenakan zakat pedagang sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan
ahl jimah dikenakan tariff 5%, kafir harbi, dikenakan tariff 10%. Selain itu,
kafir harbi dikenakan bea sebanyak kedatangan mereka ke Negara islam dengan
barang yang sama tetapi, bagi pedagang muslim dan pedagang ahl jimmah bea hanya
dikenakan sekali dalam setahun
Dalam
pengumpulan bea, abu yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama,
barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk
diperdagangkan.Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200
dirham.
B.
Pemikiran Abu Ubaid dalam Ekonomi
1. Biografi
Abu Ubaid
bernama Lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi
Al-Baghdadi. Beliau terlahir dikota Hirrah Khurasan sebelah barat laut
Afganistan pada tahun 150 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azad.[20]
Ia belajar pertamakali dikota asalnya, lalu pada usia 20 dia mulai berkelana
dan mencari ilmu ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab,
qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia
bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Pada tahun 192 H,
Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk
propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia
tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia
tinggal di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
2. Karya Abu
Ubaid
Dalam
setiap harinya, Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya
pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya
untuk mengarang.Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya
dari pada menggoreskan pedang di jalan AllahHasil karyanya ada sekitar 20, baik
dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain.Yang terbesar dan
terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih.Kitâb al-Amwâl dari Abû
‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam
Islam.Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad
kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli
(authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah
ekonomi.[21] Dalam bukunya tersebut Abû
‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya
sendiri.
Kitab al
Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid
yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum
administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif
membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi
pemerintahan. kitab ini juga memuat
sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah
ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya
mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip
pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering
mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab
Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan
Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[22]
3.
Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
a. Filosofi Hukum
dari Sisi Ekonomi[23]
Abû ‘Ubaid
dalam Al-Amwal jika dilihat dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû
‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian
dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan
sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak
individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan
kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir
pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga
pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat
keputusan (dengan kehati-hatian).Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara
alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran
Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada
kepentingan pribadi.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap
otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah
taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk
setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu
setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil
dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya
kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya
secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan
atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
Saat
membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia
menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari
subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay”
(kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim.
Ia membela
pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat
diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Ia juga menjelaskan
beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah
‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para
subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan
perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi
atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak.
b. Dikotomi Badui
ke Urban
Abû ‘Ubaid
menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui ( masyarakat tradisional/desa), kaum
urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi
kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat
pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan
pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan
al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran)
keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial
melalui pembelajaran dan penerapan hudud; 5) memberikan contoh universalisme
Islam dengan shalat berjamaah[24]
Singkatnya
disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang
berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta.
Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui
biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum
Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka
tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak
klaim sementara terhadap penerimaan fai’
hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau
penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû ‘Ubaid
memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia
memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa
terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang
mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial
terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya
hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan[25]
Dari semua
ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap
perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat
perkotaan.Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi
urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari
stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini
dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak
dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
c. Kepemilikan
Publik[26]
Abû ‘Ubaid
mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap
kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak
ulama.
Saya mengiginkan suatu hal yang
dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi yang terakhir
Pernyataan
abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang didapat dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam.
d. Kepemilikan
dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian[27]
Sesuatu
yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan
pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit.Menurutnya, kebijakan
pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap
kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan
kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian.Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi
pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami
dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga
tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya
oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud
untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati
oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada
saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau
rawa-rawa.
Jadi,
menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput
penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada
hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan
negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.
e. Pertimbangan
Kepentingan[28]
Setelah
merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima
zakat.Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa
pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung
untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan
perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar
seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan
dan kekurangan.
Karenanya
pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi
pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena
wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak
berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu
ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû
‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya
masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih
condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”,
f. Fungsi Uang[29]
Pada
prinsipnya, Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai
nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange
value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange).dalam hal ini ia
menyatakan:
“ Ada hal yang tidak diragukan
lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi
harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh
dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk membeli sesuatu (infaq).
Pernyataan
abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai
uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak
layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa.
Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap
teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif
konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika
kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat
berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang
berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari
barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai
(store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi
tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib
terkena zakat dan jumlah zakatnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Uraian
singkat pemikiran Abu Yusuf diatas memperlihatkan perhatiannya yang besar pada
sistem perekonomian yang semakin berkembang.Dan tanpa kehilangan jati dirinya,
beliau mengedapankan nilai-nilai moral dan sosial yang merupakan salah satu
implementasi dari pemahaman keislaman yang begitu mendalam. Kitab Al-Kharaj
karyanya merupakan salah satu literatur dan bahan rujukan bagi para pemikir
sesudahnya maupun pemikir-pemikir kontemporer dalam menyusun kembali sistem
islam yang sempurna dari sisi ekonomi.
Bukan
hal yang mustahil jika dikemudian hari terbentuk sistem ekonomi islam yang utuh
yang merupakan hasil dari para pemikir ekonomi islam klasik maupun kontemporer.
Dengan tetap berbasis pada sayari’at ( Quran dan Sunnah ). Pastinya disana kita
akan melihat sosok Abu Yusuf menjadi salah satu bagian penting yang tercatat
dengan tinta emas sejarah peradaban islam.
Abû
‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian
dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan
sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak
individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan
kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari
pemikiran Abû ‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal
distribusi keuangan publik (public finance) secara adil.
Metode
Abû ‘Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi
kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari’ah serta kontes sosial dan
sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber
dari nash yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta atsarsahabat, dan tradisi masa
awal Islam itu dapat dinilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan
masanya.
Pemikiran‘Abû
‘Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan
analisa para The Wealth of Nation pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam
Smith dengan karyanya “” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Ubaid dalam
Kitâb al-Amwâl, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan
pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain
sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan
saat ini.
Azwar, Adiwarman. 2001. Ekonimi Islam suatu Kajian
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Azwar, Adiwarman. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Yogyakarta: International Insitute of Islamic Thought.
Azwar, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Azwar, Adiwarman. 2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Siddiqi, Muhammad. 1986. Pemikiran Ekonomi Islam.
Jakarta: LIPPM.
[1] Euis
Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer.
(Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005), 69
[2]
Adimarwan
Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 69
[3]Biografi
Abu Yusuf”. http://seyfudin.wordpress.com/, diakses 18 Mei 2010
[4] Madjid,
M. Nazori, Pemiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi
Islam, 2003
[5]
Ibid
[6] http://seyfudin.wordpress.com/
[7] Heri
Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta. Ekonisia. 2003.
Hal. 152
[8]
Sabahuddin Azmi, Op. Cit., hlm.31
[9]
http://seyfudin.wordpress.com/
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Madjid,
M. Nazori, Pemiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi
Islam, 2003
[13] Biografi
Abu Yusuf. http://seyfudin.wordpress.com/
[14]
Euis
Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer ,
72
[15] Ibid,
76
[16] Ibid,
78
[17]
Euis
Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer ,
72
[18] Euis
Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer,
74
[19]
Ibid, 75
[20] Adimarwan
Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 242
[21] P3EI
dan UII, Ekonomi Islam, hal 108.
[22] Adimarwan
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004
[23] Ibid,
251-253
[24] Ibid,
254
[25] Ibid,
254
[26] http://kismawadi.blogspot.com/2010/04/biografi-dab-konsep-pemikiran-abu-ubaid.html
[27] Adimarwan
Karim, 255-256
[28] Ibid,
256-257
[29] Ibid,
258-259