Minggu, 01 Juli 2012

Hukm Orang (personenrecht)


Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antarorang. Hukum Perdata bagi atas dua bagian, yaitu Hukum Harta Benda (vermogensrecht) dan Hukum keluarga (fomilierecht).
Hukum Harta Benda adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hak dan wewenang yang diakibatkan oleh penguasaan orang atas barang-barang ekonomi.

Hukum Keluarga adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan yang akibatkan dari hubungan antara laki-laki dan wanita.

Hukum Orang (personenrecht) adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hak dan wewenang orang dan perkumpulan yang disamakan dengan orang, berbagai hubungan yang timbul dari hidup kekeluargaan, perubahan-perubahan hak, dan wewenang orang yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan.

Hukum Waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak atas harta seseorang yang meninggal dunia kepada seseorang atau beberapa orang lain.

Persoon (oknum, pribadi) adalah setiap makhluk yang berhak mempunyai hak dan kewajiban (tiap subjek hukum). Orang adalah terutama persoon yang dimaksud dalam undang-undang, tetapi di samping orang, hukum masih mengenal badan-badan hukum (rechtspersonen). Perbedaan antara orang dan badan hukum terletak :ada beberapa hak orang yang tidak dapat dimiliki badan hukum, antara lain hak untuk mewarisi, menikah, mempunyai dan mengakui anak, dan membuat wasiat.

Personlijkheid (mempunyai sifat atau fungsi sebagai orang) seseorang mulai pada ia saat lahir. Setiap anak yang lahir hidup mempunyai persoonlijkheid dan dengan berhak mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegdheid) tanpa mempedulikan berapa lama hidupnya. Dengan demikian anak yang baru lahir itu sudah mempunyai Hak dan pada saat meninggalnya, hak itu pindah ke seorang atau beberapa orang lain.

Terhadap permulaan persoonlijkheid itu, yang dimulai pada saat lahirnya seseorang, ada satu perkecualian, yaitu Pasal 2 yang mengatakan, bahwa anak dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Jika sewaktu dilahirkan si anak sudah meninggal, anak itu dianggap tidak pernah ada. Ketentuan ini penting, khususnya dalam pembagian warisan dan ada hubungannya dengan Pasal 348 yang menentukan, bahwa jika seorang istri, setelah suaminya meninggal, menerangkan di hadapan Balai Harta Peninggalan (BHP), bahwa ia sedang mengandung, maka demi undang-undang BHP menjadi pengampu bagi anak dalam kandungan itu dengan nama Latin curator ventris. BHP berkewajiban melakukan segala sesuatu untuk menjamin hak anak dalam kandungan itu. Keterangan janda di hadapan BHP itu harus dilakukan sebelum lewat 300 hari sejak meninggalnya sang suami. Menurut instruksi BHP, keterangan seorang janda ini harus dilaporkan BHP kepada jaksa.
Pengampuan BHP atas anak dalam kandungan itu berakhir pada saat anak itu lahir hidup; pada saat itu juga perwalian demi undang-undang dimulai oleh ibunya dengan perwalian-pengawas dari BHP. Persoonlijkheid seseorang berakhir pada saat orang itu meninggal dunia.
Hubungan Darah (bloedverwantschap; KUHP: "kekeluargaan darah") adalah hubungan antara orang yang satu dan yang lain dalam satu garis keturunan dan juga antara orang-orang yang mempunyai nenek moyang yang sama. Hubungan darah antara orang yang satu dan orang yang lain dihitung menurut jumlah kelahiran yang ada di antara kedua orang tersebut; setiap kelahiran adalah satu derajat (grand) (Pasal 290). Urutan derajat dinamakan garis (Pasal 291).
Garis Lurus adalah urutan derajat antara orang-orang, yang satu adalah keturunan dari yang lain. Garis turun dibagi menjadi (Pasal 291): (a) garis lurus ke atas, yaitu hubungan seseorang dengan ayah dan ibunya serta nenek moyangnya; dan (b) garis lurus ke bawah, yaitu hubungan seseorang dengan keturunannya.
Garis Samping adalah urutan derajat antara orang yang satu bukanlah keturunan dari yang lain, tetapi orang itu mempunyai nenek moyang yang sama (Pasal 291).
Menghitung Derajat adalah hubungan darah antara dua orang dilakukan sebagai berikut: (a) garis lurus: mengikuti garis dan menghitung jumlah kelahiran (Pasal 293); (b) garis samping: mengikuti garis dan menghitung jumlah kelahiran dari orang yang satu sampai nenek moyang yang sama, ditambah dengan jumlah kelahiran dari nenek moyang itu ke orang yang lain (Pasal 294). Lihatlah contoh di bawah ini:

Hubungan Semenda (zwagerschap) adalah hubungan yang terjadi karena pernikahan, yaitu hubungan yang terjadi antara seorang suami atau istri dengan keluarga sedarah dari istri atau suami.
Menurut sistem BW yang tertulis dalam definisi ini maka: (1) hubungan semenda hanya ada antara G dan X, Y, I, dan K, dan lagi antara H dan A, B, E, dan F; dan (2) antara keluarga sedarah dari G dan keluarga sedarah dari H tidak ada hubungan ;emends, sehingga antara A, B, E, dan F tidak ada hubungan semenda dengan X, Y, L dan K.
Ketentuan-ketentuan di atas ini berlainan dengan kebiasaan di Indonesia, namun diterapkan oleh BW dalam berhagai bagiannya, antara lain bagian mengenai pernikahan dan warisan; selainnya dalam PJN.
I. DOMISILI (Woonplaats atau Tempat Tinggal)
BW mengenal dua jenis tempat tinggal, yaitu: I. tempat tinggal umum, dan II. tempat tinggal khusus atau yang dipilih.

A. Tempat Tinggal Umum
I
Tempat Tinggal Umum dibagi menjadi: (a) tempat tinggal sukarela atau bebas; dan (b) tempat tinggal yang tergantung pada orang lain.
1. Tempat Tinggal Sukarela atau Bebas
Pasal 17 menentukan bahwa setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggal yang dijadikannya sebagai kediaman utamanya (hoofdverblift) dan dalam hal seseorang tidak mempunyai tempat kediaman utama, maka kediamannya, tempat ia benar-benar  berdiam, dianggap sebagai tempat tinggalnya. Tempat tinggal utama berarti  tempat seseorang berada sehubungan dengan melakukan hak dan memenuhi kewajibannya. Pada umumnya seseorang hanya mempunyai satu tempat  tinqgal. Oleh HR pernah diputuskan bahwa seseorang hanya mempunyai tempat tinggal utama dan tidak lebih dari satu. Siapa yang mempunyai lebih dari satu tempat tinggal pasti mempunyai satu tempat tinggal yang terpenting. Perbedaan antara tempat tinggal utama dan tempat tinggal tidaklah esensial; yang pertama adalah tempat seseorang berdiam untuk seterusnya atau untuk waktu yang lama dan yang kedua adalah tempat seseorang tinggal untuk sementara dan tidak untuk seterusnya. Gelandangan yang berjalan dari tempat ke tempat tidak mempunyai tempat tinggal, sedangkan seorang kapten kapal berdomisili di tempat kapal yang ia nakhodai berdiam sementara.
2. Tempat Tinggal yang Tergantung pada Orang Lain
Mereka adalah:
(1) wanita yang bersuami, yang tidak berpisah meja dan tempat tidur; wanita itu mempunyai tempat tinggal di tempat tinggal suaminya (Pasal 21);
(2) anak di bawah umur mempunyai tempat tinggal di tempat orangtuanya menjalankan kekuasaan orangtua atau walinya;
(3) orang dewasa yang berada di bawah pengampuan bertempat tinggal di pengampunya (Pasal 21); dan
(4) pekerja yang tinggal di rumah majikannya bertempat tinggal di rumah majikannya.
(1) Apabila seorang wanita yang menikah tinggal terpisah dari suaminya, baik karena kemauannya sendiri maupun dengan izin hakim sambil menunggu proses perceraian, maka wanita itu tetap bertempat tinggal di rumah suaminya. Hanya ada satu perkecualian, yaitu apabila diputuskan suatu pisah meja dan tempat tidur, maka istri diperbolehkan bertempat tinggal sendiri.
(2) Anak di bawah umur yang telah mendapat keputusan pendewasaan lengkap (venia aetatis) mempunyai tempat tinggal tersendiri; anak yang telah mendapat pendewasan terbatas tetap mempunyai tempat tinggal yang tergantung pada orang lain, kecuali untuk tindakan yang untuknya ia telah mendapat pendewasaan terbatas.
Anak yang orangtuanya berpisah meja dan tempat tidur berdomisili di tempat orangtuanya menjalankan kekuasaan orangtua dan apabila orangtuanya bercerai, di tempat tinggal walinya.
(3) Pasal 451 menentukan bahwa apabila seorang suami atau istri berada di bawah pengampuan, hakim harus mengangkat istri atau suaminya sebagai pengampu, kecuali ada alasan penting baginya untuk mengangkat orang Lain sebagai pengampu; dengan demikian pada umumnya istri diangkat sebagai pengampu suaminya dan sebaliknya. Dalam hal istri adalah pengampu suaminya, tempat tinggal anaknya yang di bawah umur adalah di tempat tinggal ibunya, juga apabila ibunya kemudian pindah; demikian juga tempat tinggal suami yang berada di bawah pengampuan adalah di tempat tinggal istrinya.
(4) Seorang wanita yang menikah yang tinggal di rumah majikannya, tetap mempunyai tempat tinggal di rumah suaminya berdasarkan Pasal 21 ayat 1 dengan menyimpang dari Pasal 22.

B. Tempat Tinggal yang Dipilih atau Tempat Tinggal Khusus (Pasal 24)
Tempat tinggal ini dibagi menjadi: (a) tempat tinggal yang terpaksa dipilih; dan (b) tempat tinggal yang dipilih sukarela.
Yang dimaksud dengan terpaksa dalam sub (a) di atas terletak pada ketentuan undang-undang seperti tersebut dalam Burgerlijke Rechtsvordering Pasal 504 ayat 2 dan Pasal 106 ayat 2 .
Tempat tinggal yang dipilih sukarela dalam sub (b) dilakukan tertulis. Ini berarti harus dilakukan dengan akta (Pasal 24 ayat 1); maksudnya, apabila seseorang pindah, maka untuk tindak hukum dalam akta itu ia tetap bertempat tinggal di tempat yang dipilih.
II. PERNIKAHAN
Menurut BW, suatu pernikahan adalah suatu perjanjian antara seorang prig dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan maksud yang sama dan untuk waktu yang lama. BW tidak mehhat pernikahan dari sudut fisiologis, khususnya tidak melihat hubungan kelamin atau membuahkan anak sebagai maksud suatu pernikahan. Orang yang tidak dapat melakukan hubungan kelamin dan orang yang tidak dapat lagi memberi keturunan tidak dilarang melangsungkan pernikahan.
Perjanjian pernikahan yang dimaksud di atas tidak tunduk kepada Hukum Perjanjian yang tertulis dalam Buku Ketiga BW, tetapi mempunyai akibat yang tertulis antara Lain dan terutama dalam Buku Kesatu BW.
Pasal 26 mengatakan bahwa undang-undang memandang soal pernikahan hanya dalam hubungannya dengan Hukum Perdata. Ini berarti-menurut sejarahnya-bahwa undang-undang tidak memandang aturan-aturan yang ditentukan oleh suatu agama. Penafsiran ini ada hubungannya dengan ketentuan Pasal 81 yang mengatakan bahwa suatu upacara pernikahan keagamaan tidak boleh dilangsungkan sebelum kedua pihak membuktikan bahwa pernikahan di hadapan pegawai Kantor Catatan Sipil sudah dilangsungkan.
Syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan pernikahan menurut BW adalah hal-hal yang tertulis di bawah ini dan dibagi dalam dua bagian: I. syarat-syarat Lahiriah (luar), yaitu semua formalitas sehubungan dengan dilangsungkannya pmikahan; dan II. syarat-syarat dalam, syarat-syarat yang khusus mengenai kedua calon mempelai.
A. Syarat Lahiriah
ketentuan syarat lahiriah ini terdapat dalam Pasal 50-70 dan berlaku hanya untuk orang Eropa. seseorang yang hendak menikah harus memberitahukan kehendak itu kepada pegawai Kantor Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu dari kedua belah pihak (Pasal 50). Pemberitahuan ini harus dilakukan sendiri atau dengan yang menyatakan kehendak calon suami atau istri dan dari pemberitahuan ini harus dibuat sebuah akta (Pasal 51). Pemberitahuan kepada Kantor Catatan Sipil harus diumumkan, yaitu dengan menempelkan pengumuman itu pada pinto depan Kantor Catatan Sipil yang berkenaan. Pengumuman ini harus dipertahankan 10 hari, sedangkan hari Minggu dan hari besar tidak termasuk. Dalam pengumuman itu harus dimuat: (1) nama keluarga, nama kecil, pekerjaan, dan tempat tinggal calon suami dan istri; (2) nama suami atau istri sebelumnya jika mereka atau salah satunya pernah menikah; dan (3) tanggal, tempat, dan jam pengumuman itu (Pasal 5).
Jika calon suami dan calon istri tidak tinggal dalam daerah pegawai Kantor Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman harus dilakukan di daerah masing-masing calon suami dan calon istri (Pasal 53).
Pernikahan harus dilangsungkan dalam satu tahun sejak tanggal pengumuman; apabila lebih lama dari satu tahun, harus dilakukan pengumuman baru sebelum pernikahan dapat dilangsungkan (Pasal 57).
Pernikahan tidak dapat dilangsungkan sebelum lewat 10 hari sejak tanggal pengumuman, hari pengumuman tidak dihitung (Pasal 75 ayat 1).
Peraturan pengumuman ini khusus diadakan untuk memberi kesempatan bagi orang-orang yang berhak melakukan pencegahan (stuiting). Pencegahan pernikahan adalah suatu lembaga dalam BW sebagai daya upaya yang diberikan undang-undang kepada beberapa orang untuk menyatakan keberatannya terhadap suatu pernikahan dan hanya dalam hal-hal tertentu. Untuk itu periksalah Pasal 60-70.

B. Syarat Calon Suami-Istri
1. Kemauan Bebas Kedua Calon Suami-Istri (Pasal 28)
Seorang yang menderita penyakit gila tidak dapat menikah, sebab tidak sadar akan kemauannya. Seandainya seorang gila dapat melangsungkan pernikahannya, maka apabila ia berada di bawah pengampuan, orang-orang tersebut dalam Pasal 88 dapat menyangkal keabsahan pernikahan itu. Apabila ia tidak berada di bawah pengampuan, undang-undang tidak memberi ketentuan.
Sebagaimana diketahui, BW sudah berumur lebih dari 140 tahun; pada waktu itu psikiatri belum begitu maju seperti pada masa sekarang. Dalam hal undang-undang tidak memberi ketentuan, sebaiknya persoalannya diserahkan kepada hakim pengadilan negeri, yang sekaligus memutuskan sah tidaknya pernikahan itu setelah mendengar para psikiater.
Sehubungan dengan asas kemauan bebas yang diikuti BW, maka suatu janji untuk menikahi seseorang tidak memberi hak kepada orang tersebut untuk menuntut pernikahan dan juga tidak memberi hak untuk menuntut penggantian ongkos, kerugian, ataupun bunga sehubungan dengan tidak dipenuhinya janji itu.
Segala ketentuan, yang dibuat oleh calon suami dan calon istri mengenai pembayaran ganti kerugian dalam hal janji untuk menikahi (trouwbelofte) tidak dilaksanakan, adalah batal (Pasal 58 ayat 1). Namun apabila pengumuman untuk pernikahan itu sudah dilakukan di Kantor Catatan Sipil, maka yang menolak melangsungkan pernikahan dapat dituntut, tetapi hanya untuk membayar ongkos, kerugian, dan bunga yang benar-benar diderita. Tuntutan demikian menjadi kedaluwarsa setelah lewat 18 bulan, terhitung dari pengumuman itu (Pasal 58 ayat 2 dan Pasal 58 ayat 3).
2. Berusia 18 Tahun untuk Pria dan 15 Tahun untuk Wanita (Pasal 29)
Seseorang hanya boleh dibebaskan dari ketentuan ini dengan dispensasi dari presiders Republik Indonesia (menteri Kehakiman) dengan alasan kuat (om gewichtige redenen), umpamanya karena wanita sudah hamil.
3. Asas Monogamitas (Pasal 27)
Seorang pria pada waktu yang sama dapat terikat dalam pernikahan dengan hanya seorang wanita dan seorang wanita dengan hanya seorang pria. Bigami dapat dihukum. Pernikahan yang dilangsungkan di luar negeri juga menyebabkan rintangan (beletsel) untuk menikah kedua kalinya.
4. Masa Menunggu Wanita selama 300 Hari (Pasal 34) 
Setelah suatu pernikahan berakhir, seorang wanita harus menunggu 300 hari sebelum dapat mengikatkan diri dalam pernikahan baru. Ketentuan ini dibuat oleh undang-undang untuk menghindarkan ketidakpastian tentang siapa ayah dari anak yang akan lahir dalam jangka waktu 300 hari itu. Anehnya, jika wanita ftu telah melahirkan–katakan–setelah 120 hari sejak pernikahan putus, ia tetap harus menunggu 180 hari lagi. 
5. Tidak Adanya Larangan Menikah 
a. Hubungan darah atau hubungan semenda:
(1) dengan orang dari garis lurus ke atas dan ke bawah (tidak mempedulikan apakah hubungan darah itu sah atau tidak sah) atau karena hubungan semenda;
(2) dengan saudara kandungnya, sah atau tidak sah (Pasal 30), dengan paman atau paman orangtua, bibi atau bibi orangtua, sah atau tidak sah; dan
(3) dengan ipar laki-laki dan ipar perempuan karena pernikahan sah atau tidak sah, kecuali apabila si suami atau si istri yang menyebabkan hubungan semenda itu telah meninggal dunia atau dalam hal tak hadirnya si suami atau si istri, telah diberi izin oleh hakim untuk menikah kepada suami atau istri yang ditinggalkannya (Pasal 31 ayat 1).

Perlu dicatat di sini, bahwa kalau ipar laki-laki atau ipar perempuan mengakhiri pernikahan mereka karena perceraian (tidak karena kematian atau tak hadir dalam arti undang-undang), maka larangan nikah itu tetap berlaku. Ketentuan ini diadakan sebagai suatu hukuman apabila justru ipar itu menyebabkan perceraian.
Dengan meneliti larangan tersebut di atas, maka: (a) pernikahan antara anak-anak dari saudara kandung tidak dilarang oleh undang-undang, walaupun orang tidak menyukainya; (b) tidak dilarang pula pernikahan antara seorang lelaki dan janda dari saudara kandung istrinya yang telah meninggal dunia; lihatlah gambar di bawah ini:
                   
A boleh menikah dengan D, yaitu karena menurut undang-undang BW antara A dan C ada hubungan semenda, tetapi tidak ada antara A dan D; lihatlah definisi tentang hubungan semenda dan hubungan darah; dan (c) tidak dilarang pula pernikahan antara seseorang dan bibi bekas istrinya atau paman bekas suaminya/istrinya (dalam gambar di atas A menikah dengan X atau D menikah dengan Y).

Walaupun di sini ada hubungan semenda, namun larangan nikah dengan bibi atau paman (Pasal 31 ayat 2) tidak mencakup hubungan semenda (lihat sebelumnya pada sub a (2)).

Dispensasi terhadap larangan nikah dapat diperolch dari presiders (menteri Kehakiman), tetapi hanya diperlukan dalam hal pernikahan dengan paman/ paman orangtua atau bibi/bibi orangtua dan dengan ipar (larangan termuat dalam Pasal 31).

Pernikahan juga dilarang: (1) antara bekas suami dan bekas istri yang telah menikah dua kali dan pernikahan kedua juga berakhir dengan perceraian (Pasal 33 ayat 2); dan (2) antara bekas suami dan bekas istri dengan seseorang yang dengannya salah satunya berzina dan menyebabkan perceraian mereka; orang tersebut harus disebut dalam keputusan perceraian hakim (Pasal 32).

Orang yang pernikahannya berakhir karena perceraian (yang pertama kali) harus menunggu 1 tahun sebelum mereka menikah untuk kedua kalinya. Pernikahan kedua itu dalam bahasa Belanda disebut reparatie-huwelijk atau perbaikan pernikahan.

b. Izin orangtua atau orang yang disebut dalam undang-undang
Siapa yang harus memberi izin nikah menurut undang-undang BW?

1) Anak sah di bawah umur (belum 21 tahun):
a.a. memerlukan izin dari kedua orangtua mereka;
a.b. apabila salah satu dari kedua orangtua:

(1) meninggal dunia: dari orangtua yang masih hidup;

(2) dipecat dari kekuasaan orangtua: tetap dari kedua orangtua, tetapi kalau  orangtua yang dipecat tidak mau memberi izin, sedangkan yang tidak dipecat memberi izin, maka izin dari orangtua yang dipecat dapat diganti dengan izin (dimintakan dari) pengadilan negeri; dan

(3) tidak dalam keadaan mampu untuk mengutarakan kemauannya (sakit saraf, tidak hadir menurut undang-undang, sakit keras, dan sebagainya): hanya dari orangtua yang lain; dan

a.c. (Pasal 35) kalau kedua orangtua:

(1) cerai atau pisah meja/tempat tidur: izin tetap diperlukan dari kedua orangtua. Semua ketentuan ini mengakibatkan, apabila anak sah itu tidak diberi izin nikah dari salah satu dari orangtuanya (tanpa mengurangi ketentuan sub a.b./ (2)), anak itu tidak dapat melangsungkan pernikahan sampai ia mencapai umur 21 tahun (lihat di bawah);

(2) dipecat atau dibebaskan: izin tetap diperlukan dari kedua orangtuanya ditambah dengan izin dari walinya. Kalau anak itu mau menikah dengan walinya atau dengan keluarga dari wali dalam garis lurus, izin tambahan diperlukan dari wali-pengawas. Dalam hal ini, tetapi hanya apabila orangtua yang dibebaskan dari kekuasaan orangtua atau perwalian mau memberi izin, izin dari orangtua yang dipecat, dari wali dan wali-pengawas; apabila mereka menolak, dapat diganti dengan izin (dimintakan dari) pengadilan negeri. Pembebasan dari kekuasaan orangtua tidak ada pengaruhnya dalam hal perizinan menikah, artinya anak sah tetap memerlukan izin dari orangtua yang dibebaskan sebelum ia dapat menikah; dan

(3) meninggal dunia: (3a) izin dari kedua orangtua dari masing-masing ayah dan ibu diperlukan (4 orang), sepanjang mereka masih hidup. Jika yang menjadi wali anak itu orang lain dari mereka, izin dari wali juga diperlukan (Pasal 37 ayat 1); (3b) dalam hal anak mau menikah dengan walinya atau keluarga wali dalam garis lurus, izin tambahan diperlukan dari wali-pengawas (Pasal 37 ayat 2): (3c) dalam hal mereka tersebut dalam (3a) dan (3b) tidak sepakat (artinya ada yang ingin memberi izin, ada yang menolak), maka izin dari yang menolak dapat diganti dengan izin hakim pengadilan negeri (Pasal 37 ayat 3); akibat dari ketentuan ini adalah bahwa apabila semua orang yang izin nikahnya diperlukan menolak, izin dari pengadilan negeri tidak dapat menggantinya; dan (3d) jika mereka yang harus memberi izin semuanya sudah tidak ada atau dalam keadaan tidak dapat mengutarakan kemauannya, izin diperlukan hanya dari wali dan wali-pengawas (Pasal 38). Kedua izin ini dapat diganti dengan izin pengadilan negeri.

Dalam semua kejadian izin dari pengadilan negeri yang diminta (lihat Ba/a.b./(2), Ba/a.c./(3c) dan (3d)), hakim wajib mendengar orang-orang yang disebut dalam pasal-pasal yang berkenaan.

2) Anak luar nikah (anak alam) di bawah umur
(1) Jika anak itu diakui oleh kedua orangtua, izin nikah diperlukan dari kedua orangtua; jika satu telah meninggal dunia atau berada dalam keadaan tidak mampu mengutarakan kemauannya, hanya dari orangtua yang lain.

(2) Jika anak itu hanya diakui oleh salah satu dari orangtua, izin diperlukan dari orangtua itu.

(3) Jika anak itu mempunyai wali, orang lain dari orangtuanya sendiri, maka izin nikah diperlukan dari orangtua yang mengakuinya dan dari walinya; jika anak itu hendak menikah dengan walinya atau keluarga dari wali dalam garis lurus, masih diperlukan izin tambahan dari wali-pengawas.

Kalau antara mereka yang menurut undang-undang harus memberi izin untuk menikah kepada anak luar nikah itu (termasuk orangtua dari anak luar nikah itu) ada perbedaan pendapat, maka izin yang diperlukan dari orang yang menolak memberinya dapat diganti dengan izin hakim pengadilan negeri (Pasal 39 ayat 3).

Perhatian: Di sini ada 2 hal yang harus diingat: pertama, dalam hal perizinan nikah anak luar nikah berlaku juga, bahwa jika orang yang wajib memberi izin nikah kepada anak itu semuanya menolak, maka hakim tidak dapat memberi izin; dan kedua, ternyata hakim dapat mengganti izin dari orangtua anak luar nikah itu, apabila orangtua itu menolak memberinya; ini tidak dapat terjadi dalam hal anak sah. Nyatalah di sini, bahwa pembuat undang-undang melihat hubungan antara orangtua dan anak yang diakuinya tidak begitu erat seperti dalam hal anak sah dengan orangtuanya. Anak sah harus mendapat izin dari orangtuanya; apabila tidak, anak sah itu tidak dapat melangsungkan pernikahannya.

(4) Dalam hal kedua orangtuanya yang telah mengakuinya telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu mengutarakan kemauannya, maka izin nikah untuk anak luar nikah itu harus diperolch dari wali dan wali-pengawas. Kalau wali dan wali-pengawas atau salah satunya menolak, maka izin dapat diganti dengan izin dari hakim; pendapat dari keluarga hubungan darah dan hubungan semenda kedua orangtua tidak dimintai. Ketentuan ini adalah akibat dari pendirian BW, bahwa pengakuan anak hanya melahirkan hubungan perdata antara anak dan orangtua yang mengakuinya dan tidak dengan keluarga sedarah dari orangtuanya.

Dalam hal ibu dari anak luar nikah itu termasuk golongan Hukum Indonesia Asti atau Timur Asing, maka ketentuan 2) (1)—(4) di atas tidak berlaku dan anak tunduk kepada Hukum Adat kecuali: (1) bapaknya adalah orang dari golongan Hukum Eropa atau Timur Asing Cina dan bapaknya mengakui anak tersebut; dan (2) ibunya adalah orang dari golongan Timur Asing Cina yang telah mengakui anak.

Dalam hal (1) dan (2) semua ketentuan dalam 2) (1)—(4) berlaku. Apabila bapak anak luar nikah itu termasuk golongan Hukum Eropa atau golongan Hukum Timur Asing Cina dan mengakui anak itu, maka izin ibunya untuk pernikahan anak luar nikah itu adalah sebagai berikut:

Apabila ibunya termasuk golongan Hukum Indonesia Asli, izin dari ibu tidak diperlukan. Ini adalah suatu akibat dari Pasal 284 ayat 3 yang menentukan, bahwa hubungan antara ibu dari golongan Indonesia Asti itu putus disebabkan pengakuan oleh ayahnya (ketentuan ini berhubung dengan kemerdekaan Indonesia tidak berlaku lagi).

Apabila ibu anak itu termasuk golongan Timur Asing Cina dan mengakui anak itu, maka izin dari ibu itu diperlukan. Demikianlah ketentuan menurut BW sebelum kemerdekaan. Karena Pasal 284 ayat 3 dianggap tidak berlaku lagi, maka tanpa mempedulikan lagi ibu termasuk golongan hukum mana saja, izin untuk menikah dari ibu diperlukan.

Anak luar nikah yang tidak diakui oleh kedua orangtuanya, memerlukan izin dari wali dan wali-pengawasnya untuk menikah. Apabila izin ini atau salah satunya ditolak, maka dapat diganti dengan izin hakim pengadilan negeri.
3) Anak dewasa menurut BW (21 tahun dan lebih)
Anak-anak sah yang telah berumur 21 tahun tetapi belum mencapai umur cukup 30 tahun masih memerlukan izin hanya dari orangtuanya (Pasal 42). Jika mereka menolak memberi izin, maka izin orangtua itu dapat diganti dengan izin hakim pengadilan negeri; akta yang dibuat dari permohonan izin kepada hakim ini diberi nama akte van eerbied (akta penghormatan; Prof. Mr. Pitlo 1946, hlm. 124), nama yang diambil dari hukum Perancis; si anak harus mengajukan permohonan izin kepada orangtuanya dan dari permohonan ini dibuat suatu akta yang diberi nama acte respectueux (Asser-Scholten 1947, hlm. 59).

Prosedur. Pengadilan negeri memanggil untuk didengar ayah/ibu dan anak yang bersangkutan dengan ketentuan, jika: (1) kedua orangtua tidak datang di pengadilan negeri, maka anak itu dapat melangsungkan pernikahannya dengan menunjukkan kepada pegawai Kantor Catatan Sipil akta yang menyatakan bahwa orang-orangtuanya tidak datang (Pasal 44); (2) anak tidak datang di pengadilan negeri, maka permohonannya kepada hakim gugur (Pasal 45); dan (3) kedua atau salah sara dari dari orangtua dan anak hadir dan kedua atau salah satu da orangtua tetap tidak memberi izin, maka pernikahan dapat dilangsungkan setelah lewat masa 3 bulan sejak hari mereka hadir di pengadilan negeri (Pasal 46).

Ketentuan (1)–(3) ini berlaku juga terhadap anak luar nikah yang berumur antara 21-30 tahun (Pasal 47). Dari ketentuan ini nyatalah bahwa izin dari nenek dan kakek anak sah berumur 21-30 tahun tidak perlu diminta lagi, apabila kedua orangtua dari anak itu sudah meninggal dunia. Anak luar nikah yang diakui (seperti juga anak sah) yang berumur 30 tahun dan lebih, bebas melangsungkan pernikahan tanpa izin apa pun.

c. Orang di bawah pengampuan
Kalau orang itu tidak dapat mengutarakan kehendaknya (gila), ia tidak dapat menikah. Dalam hal pengampuan ini BW hanya memberi perkecualian dalam Pasal 452 ayat 2 bagi mereka yang berada di bawah pengampuan karena keborosan. Kurandus itu dapat menikah asal saja dengan izin pengampu dan pengampupengawas. Kalau pemberian kedua izin itu atau salah satunya ditolak, maka izin itu dapat diganti dengan izin hakim pengadilan negeri.

Mengenai pernikahan orang yang karena kelemahan pikiran (zwakheid von vermogen; cacat mental) berada di bawah pengampuan tidak diberi penegasan oleh BW. AsserSchotten 1947, hlm. 44 berpendapat bahwa kurandus itu dapat menikah asalkan ada izin dari pengampu dan pengampu-pengawas.



C. Pencegahan Pernikahan
Ini adalah suatu daya upaya undang-undang untuk memberi kesempatan kepada beberapa orang tertentu dalam hal-hal tertentu untuk mencegah berlangsungnya suatu pernikahan. Dalam hal-hal mana dan oleh siapa suatu pernikahan dapat dicegah, harap pelajari Pasal 59-70.


D. Berlangsungnya Pernikahan
Pernikahan dapat dilangsungkan setelah lewat 10 hari sejak pengumuman, tidak termasuk hari pengumuman. Gubernur dapat memberi dispensasi dari ketentuan ini berdasarkan alasan yang berbobot. Tanda-tanda yang harus diberikan kepada pegawai Kantor Catatan Sipil adalah: (1) akta kelahiran calon mempelai; (2) perizinan nikah yang diperlukan masing-masing calon mempelai; (3) dalam hal pernikahan kedua atau lebih, akta kematian suami atau istri sebelumnya, akta cerai atau keputusan hakim dalam hal suami atau istri dahulu tidak hadir; (4) akta kematian dari orang-orang yang seharusnya memberi izin nikah; (5) pemberian dispensasi kalau ada; (6) untuk perwira dan prajurit izin atasannya; dan (7) tidak adanya pencegahan (stuiting) pernikahan.

Akta kelahiran, apabila tidak ada, dapat diganti dengan akta kenal (akte von bekendheid). Pegawai Kantor Catatan Sipil berwenang menentukan apakah surat-surat cukup memenuhi undang-undang. Seumpamanya pegawai Kantor Catatan Sipil memberi keputusan bahwa surat-surat tidak cukup dan orang-orang yang berkepentingan tidak menyetujui keputusan itu, maka pengadilan negeri memutuskannya atas permintaan yang berkepentingan.

Tempat berlangsungnya pernikahan adalah Kantor Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu calon mempelai dengan dihadiri 2 orang saksi yang bertempat tinggal di Indonesia dan telah mencapai usia genap 21 tahun. Pernikahan juga dapat dilangsungkan di gedung lain apabila calon mempelai berhalangan pergi ke Kanto Catatn Sipil, asalkan gedung itu terletak dalam daerah kuasa kantor tersebut.

Pada dasarnya kedua mempelai harus hadir sendiri, tetapi sebagai perkecualian Menteri Kehakiman dapat menyetujui pernikahan dilakukan dengan seorang wakil yang diberi kuasa dengan surat autentik. Cara menikah ini juga diberi nama "menikah dengan sarung tangan", yaitu terjemahan dari trouwen met de handschoen. Jika sebelum pernikahan dilangsungkan, orang yang memberi kuasa secara sah menikah dengan seorang lain, maka pernikahan dengan wakil khusus itu dianggap tidak pernah berlangsung (Pasal 79 ayat 2); demikian juga jika sebelum pernikahan, orang yang memberi kuasa meninggal dunia atau mencabut kuasa itu, walaupun pencabutan terlambat tibanya, kata Asser-Wiarda-Scholten 1947, hlm. 82.

Para pihak harus mengatakan di hadapan pegawai Kantor Catatan Sipil dengan dihadiri oleh saksi, bahwa mereka menerima yang lain sebagai suami atau istri dan akan patuh melaksanakan kewajibannya sebagai demikian; setelah itu pegawai Kantor Catatan Sipil menyatakan, bahwa kedua mempelai telah terikat dengan pernikahan.

Pernikahan yang dilangsungkan dengan sah di luar negeri, diakui di Indonesia apabila:
(1)   pernikahan itu telah dilangsungkan sesuai dengan aturan antang-undang negara asing yang bersangkutan; dan
(2)   Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan yang berlaku di Indonesia terhadap diri sendiri.

Setiap pernikahan yang dilangsungkan di luar negeri harus didaftarkan dalam register pernikahan di tempat tinggal segera setelah kedua mempelai kembali di tanah air yaitu dalam kurun waktu 1 tahun setelah datang. Tidak didaftarkannya pernikahan seperti yang ditentukan di atas tidak berpengaruh terhadap sah tidaknya pernikahan yang dilakukan di luar negeri itu. Setelah lewat 1 tahun tersebut, pendaftaran masih dapat dilakukan dengan penambahan akta-akta Kantor Catatan Sipil menurut Pasal 13 dan seterusnya. Dari suatu pernikahan yang dilangsungkan harus dibuat akta oleh pegawai Kantor Catatan Sipil yang harus didaftarkan dalam register Kantor Catatan Sipil. Akta itu memberi bukti lengkap adanya pernikahan dan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain (Pasal 100).

Terhadap ketentuan ini ada dua perkecualian tertulis dalam Pasal 101 dan 102 .

(Disalin Dari Studi Notariat - Tan Thong Kie 2007 sebagai bahan materi perkuliahan)

makalah : berhutang dalam perspektif ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan yang sesungguhnya.  Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.
Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari alquran dan hadis nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.
Kajian-kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi.Ini memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.       Bagaimana sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid terhadap pengembangan Ekonomi Islam?
2.       Apa karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid terhadap pengembangan ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu










BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pemikiran Abu Yusuf dalam Ekonomi
1.      Biografi
Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-anshari Al-Jalbi Al-Kufi al-Baghdadi yang dilahirkan pada tahun 113 H[1] dan wafat pada tahun 182 H[2]. Nasab keturunan beliau masih merupakan keturunan dari kaum anshar (pemeluk islam pertama dan kelompok penolong Nabi SAW di Madinah). Sehingga kata-kata al-Anshari pada namanya merupakan nisbah dari sebutan nasab tersebut[3].
Ia memiliki minat yang besar terhadap ilmu, hal ini dibuktikannya dengan banyaknya kajian ia pahami. Pendidikannya dimulai dari belajar hadits dari beberapa tokoh.Ia juga ahli dalam bidang fiqh. Berkaitan dengan ini Abu Hanifah membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Meskipun ia sebagai murid Abu hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat Abu Hanifah[4].
Abu Yusuf dikenal sebagai Qadi (hakim), bahkan Qadi al-Qudah, hakim agung, sebuah jabatan tertinggi dalam lembaga peradilan pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid.[5]


2.      Karya Abu Yusuf[6]
 Abu Yusuf merupakan seorang tokoh yang cukup mempunyai nama besar. Hal ini dikarenakan pola berpikirnya yang maju, dan beliau juga seorang tokoh yang paling banyak menentukan kebijakan-kebijakan dalam kehidupan nasyarakat dan bernegara pada masa itu.Selain dari itu, tokoh ilmuwan yang brillianpun disandangnya.Sebagai bukti adalah karya ilmiah dan tulisan beliau yang merespon beberapa gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan sosial dan agama. Di antara karya-karya dan tulisan beliau adalah sebagai berikut:
·               Kitab al-Atsar.Sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya.
·               Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila
·               Kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i.Kitab ini memuat beberapa pendapat dan pandangan Abu Yusuf tentang beberapa hukum Islam yang merupakan himpunan dari beberapa kritikan dan sanggahan-sanggahan beliau terhadap pendapat al-Auza’i di seputar perang dan jihad.
·               Kitab Adabu al-Qadhi.Sebuah kitab yang memuat tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim (Qadhi).
·               Kitab al-Maharij fi al-Haili.Kitab ini memuat tentang kajian biologi, tentang binatang-binatang dan hal-hal yang berkenaan dengannya.
·               Kitab al-Jawami’. Kitab ini banyak memuat tentang hal yang berkenaan dengan pendidikan.[7]
·               Kitab al-Kharaj. Kitab ini merupakan karya monumental beliau.Selain kitab ini memuat tentang banyak masalah-masalah yang erat kaitannya dengan fenomena-fenomena sosial, kitab ini pun telah dijadikan sebagai panduan dalam menentukan kebijakan perekonomian pada masa dinasti Abbasiyyah, terutama sejak di bawah pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid. Dengan kitab ini pulalah beliau dinobatkan menjadi faqih dan juga sebagai tokoh ekonomi muslim klasik. Penekanan kitab karya Abu Yusuf ini terletak pada tanggung jawab penguasa terhadap kesejahteraan rakyatnya. Secara umum kitab al-kharaj berisi tentang berbagai ketentuan agama yang membahas persoalan perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan public. Buku ini merupakan sebuah upaya untuk membangun system keuangan yang mudah dilaksanakan sesuai dengan hokum islam dalam kondisi yang selalu berubah dan sesuai dengan persyaratan ekonomi.[8]
Selain dari beberapa kitab di atas sebagian ilmuwan menginformasikan tentang masih banyak lagi kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf, seperti Al-Zakah, al-Shiyam, al-Bai’, al-Faraid, al-Wasiah, dan lain-lain.

3.      Pandangan Ekonomi Abu Yusuf
3.1.             Mekanisme[9]
Abu Yusuf dalam membenahi sistem perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki hak bila ekonomi tidak adil.

a.      Menggantikan sistem wazifah dengan sistem muqasamah[10]
Wazifah dan Muqasamah merupakan dua istilah yang digunakan Abu Yusuf dalam membahas sistem pungutan pajak. Menurut Abu Yusuf, sistem Wazifah perlu diganti dengan sistem Musaqamah, karena musaqamah merupakan sistem yang bisa mencapai keadilan ekonomi.

b.      Membangun fleksibilitas sosial[11]
Yang sering menjadi perbincangan dan diskusi yaitu ketika konsep agama dan negara dihadapkan tentang muslim dan non-muslim, diantaranya warga negara yang non-muslim harus membayar pajak, sedangkan warga muslim tidak diharuskan. Islam hanya mengakui warga muslim yang mendapat kepastian hukum penuh, sedangkan non-muslim tidak. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, Musta’min, dan Zimmi.
Ketiga kelompok ini mendapat perhatian khusus dalam pandangan Abu Yusuf, dengan memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah sesuai status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan, serta ketentuan hukum lainnya.Perhatian khusus tersebut diantaranya terlihat dalam mekanisme penetapan pajak Jizyah terhadap mereka.

c.       Membangun sistem politik dan ekonomi yang transparan[12]

Menurut Abu Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara transparan, karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.
Pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan Insidental Revenue (Ghanimah dan Fai’) maupun Permanent Revenue (Kharaj, Jizyah, Ushr, dan Shadaqah/Zakat) dijelaskan secara transparan pengalokasiannya kepada masyarakat, terutama kaitannya dengan fasilitas publik.
Transparansi ini terwujud dalam peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan (al-Adalah), kehendak bebas (al-Ikhtiyar), keseimbangan (al-Tawazun), dan berbuat baik (al-Ikhsan).

d.      Menciptakan sistem ekonomi yang otonom[13]
Salah satu upaya untuk mewujudkan visi ekonomi dalam pandangan Abu Yusuf adalah upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi pemerintah).Dalam hal ini, mekanisme kerja yang beliau tawarkan adalah analisisnya terhadap regulasi harga yang bertentangan dengan teori supply and demand.
Bagi beliau, jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tapi ada kekuatan lain yang lebih menentukan.

3.2. Keuangan Publik
a.      Ghanimah[14]
Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan.
Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara.Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik.Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.

b.      Pajak (kharaj)
Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari non muslim.[15] Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai pajak antara lain[16] :
1.      Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam
ü  Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
ü  Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
ü  Wilayah yang dimiliki muslim diluar Arab. (mebayarUsyr)
2.      Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai
ü  Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr)
ü  Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj)
3.      Tanah taklukan
ü  Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.
ü  Tanah taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar Kharaj
ü  Tanah yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
ü  Tanah yang ditahan Negara, maka kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.
c.       Zakat[17]
Diantara objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah : pertama, zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyah menurut abu yusuf adalah :
1.      lahan yang termasuk jazirah arab, meliputi hijaz, makkah, madinah dan yaman.
2.      tanah tandus / mati yag dihidupkan kembali oleh orang islam.
3.      setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar
4.      tanah yang diberikan kepada orang islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.
5.      tanah yang dimiliki oleh orang islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melahirkan diri dari peperagan.
Kedua, objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat dari hasil mineral atau barang tambang lainnya.Abu yusuf dan ulama hanafiyah berpendapat bahwa standar zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti ganimah 1/5 atau 20% dari total produksi.
d.      Faiy’[18]
Fay’ adalah segala sesuatu yag dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua harta fay’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.
e.       Usyr (Bea Cukai)[19]
Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah dan penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan Negara islam. Usyr dibayar dengan cash atau barang. Abu yusuf, melaporka bahwa abu musa al- as’ari, salah seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan tarif sepersepuluh di tanah – tanah harbi. Khalifah umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea dari mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang muslim.
Tarif usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslim maka ia akan dikenakan zakat pedagang sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan ahl jimah dikenakan tariff 5%, kafir harbi, dikenakan tariff 10%. Selain itu, kafir harbi dikenakan bea sebanyak kedatangan mereka ke Negara islam dengan barang yang sama tetapi, bagi pedagang muslim dan pedagang ahl jimmah bea hanya dikenakan sekali dalam setahun
Dalam pengumpulan bea, abu yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan.Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham.

B.     Pemikiran Abu Ubaid dalam Ekonomi

1.      Biografi
Abu Ubaid bernama Lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Beliau terlahir dikota Hirrah Khurasan sebelah barat laut Afganistan pada tahun 150 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azad.[20] Ia belajar pertamakali dikota asalnya, lalu pada usia 20 dia mulai berkelana dan mencari ilmu ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.

2.      Karya Abu Ubaid
Dalam setiap harinya, Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang.Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan AllahHasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain.Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih.Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam.Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.[21] Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. kitab  ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[22]



3.       Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
a.      Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi[23]
Abû ‘Ubaid dalam Al-Amwal jika dilihat dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian).Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak.

b.      Dikotomi Badui ke Urban
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui ( masyarakat tradisional/desa), kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan  diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud; 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah[24]
Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan[25]
Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan.Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

c.        Kepemilikan Publik[26]
Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama.
Saya mengiginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi yang terakhir
Pernyataan abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang didapat dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam.

d.      Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian[27]
Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit.Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian.Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.

e.       Pertimbangan Kepentingan[28]
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat.Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”,

f.       Fungsi Uang[29]
Pada prinsipnya, Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange).dalam hal ini ia menyatakan:
“ Ada hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk membeli sesuatu (infaq).
Pernyataan abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Uraian singkat pemikiran Abu Yusuf diatas memperlihatkan perhatiannya yang besar pada sistem perekonomian yang semakin berkembang.Dan tanpa kehilangan jati dirinya, beliau mengedapankan nilai-nilai moral dan sosial yang merupakan salah satu implementasi dari pemahaman keislaman yang begitu mendalam. Kitab Al-Kharaj karyanya merupakan salah satu literatur dan bahan rujukan bagi para pemikir sesudahnya maupun pemikir-pemikir kontemporer dalam menyusun kembali sistem islam yang sempurna dari sisi ekonomi.
Bukan hal yang mustahil jika dikemudian hari terbentuk sistem ekonomi islam yang utuh yang merupakan hasil dari para pemikir ekonomi islam klasik maupun kontemporer. Dengan tetap berbasis pada sayari’at ( Quran dan Sunnah ). Pastinya disana kita akan melihat sosok Abu Yusuf menjadi salah satu bagian penting yang tercatat dengan tinta emas sejarah peradaban islam.
Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abû ‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public finance) secara adil.
Metode Abû ‘Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari’ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta atsarsahabat, dan tradisi masa awal Islam itu dapat dinilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.
Pemikiran‘Abû ‘Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para The Wealth of Nation pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya “” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Ubaid dalam Kitâb al-Amwâl, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini.






















DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Adiwarman. 2001. Ekonimi Islam suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Azwar, Adiwarman. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: International Insitute of Islamic Thought.
Azwar, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Azwar, Adiwarman. 2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Siddiqi, Muhammad. 1986. Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: LIPPM.



[1] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer. (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005), 69
[2] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 69
[3]Biografi Abu Yusuf”. http://seyfudin.wordpress.com/, diakses 18 Mei 2010
[4] Madjid, M. Nazori, Pemiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003
[5] Ibid

[6] http://seyfudin.wordpress.com/
[7] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta. Ekonisia. 2003. Hal. 152
[8] Sabahuddin Azmi, Op. Cit., hlm.31
[9] http://seyfudin.wordpress.com/
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Madjid, M. Nazori, Pemiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003
[13] Biografi Abu Yusuf. http://seyfudin.wordpress.com/
[14] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer , 72
[15] Ibid, 76
[16] Ibid, 78
[17] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer , 72
[18] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer, 74
[19] Ibid, 75
[20] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 242
[21] P3EI dan UII, Ekonomi Islam, hal 108.
[22] Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004
[23] Ibid, 251-253
[24] Ibid, 254
[25] Ibid, 254
[26] http://kismawadi.blogspot.com/2010/04/biografi-dab-konsep-pemikiran-abu-ubaid.html
[27] Adimarwan Karim, 255-256
[28] Ibid, 256-257
[29] Ibid, 258-259