Minggu, 01 Juli 2012

makalah : berhutang dalam perspektif ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah merupakan potret manusia dimasa lampau, ia merupakan laboratorium kehidupan yang sesungguhnya.  Tiap generasi ada zamannya, begitupun sebaliknya, setiap zaman ada generasinya. Dimensi masa depan dengan segala persoalannya dari zaman kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan lagi.
Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan muslim terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan kedua memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Konsep ekonomi para cendekiawan muslim berakar pada hukum Islam yang bersumber dari alquran dan hadis nabi. Ia merupakan hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah dan prinsip umum bagi perilaku individu dan masyarakat serta mendorong umatnya untuk menggunakan kekuatan akal pikiran mereka.
Kajian-kajian terhadap perkembangan sejarah ekonomi Islam merupakan ujian-ujian empirik yang diperlukan bagi setiap gagasan ekonomi.Ini memiliki arti yang sangat penting, terutama dalam kebijakan ekonomi dan keuangan negara secara umum.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.       Bagaimana sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid terhadap pengembangan Ekonomi Islam?
2.       Apa karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sumbangan pemikiran Abu Yusuf dan Abu Ubaid terhadap pengembangan ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui karya abu Yusuf dan abu Ubaid yang membantu pengembangan Ekonomi Islam pada masa itu










BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pemikiran Abu Yusuf dalam Ekonomi
1.      Biografi
Dalam literatur Islam Abu Yusuf sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-anshari Al-Jalbi Al-Kufi al-Baghdadi yang dilahirkan pada tahun 113 H[1] dan wafat pada tahun 182 H[2]. Nasab keturunan beliau masih merupakan keturunan dari kaum anshar (pemeluk islam pertama dan kelompok penolong Nabi SAW di Madinah). Sehingga kata-kata al-Anshari pada namanya merupakan nisbah dari sebutan nasab tersebut[3].
Ia memiliki minat yang besar terhadap ilmu, hal ini dibuktikannya dengan banyaknya kajian ia pahami. Pendidikannya dimulai dari belajar hadits dari beberapa tokoh.Ia juga ahli dalam bidang fiqh. Berkaitan dengan ini Abu Hanifah membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya hidup keluarganya. Meskipun ia sebagai murid Abu hanifah, ia tidak sepenuhnya mengambil pendapat Abu Hanifah[4].
Abu Yusuf dikenal sebagai Qadi (hakim), bahkan Qadi al-Qudah, hakim agung, sebuah jabatan tertinggi dalam lembaga peradilan pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid.[5]


2.      Karya Abu Yusuf[6]
 Abu Yusuf merupakan seorang tokoh yang cukup mempunyai nama besar. Hal ini dikarenakan pola berpikirnya yang maju, dan beliau juga seorang tokoh yang paling banyak menentukan kebijakan-kebijakan dalam kehidupan nasyarakat dan bernegara pada masa itu.Selain dari itu, tokoh ilmuwan yang brillianpun disandangnya.Sebagai bukti adalah karya ilmiah dan tulisan beliau yang merespon beberapa gejala dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan sosial dan agama. Di antara karya-karya dan tulisan beliau adalah sebagai berikut:
·               Kitab al-Atsar.Sebuah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya.
·               Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila
·               Kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i.Kitab ini memuat beberapa pendapat dan pandangan Abu Yusuf tentang beberapa hukum Islam yang merupakan himpunan dari beberapa kritikan dan sanggahan-sanggahan beliau terhadap pendapat al-Auza’i di seputar perang dan jihad.
·               Kitab Adabu al-Qadhi.Sebuah kitab yang memuat tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang hakim (Qadhi).
·               Kitab al-Maharij fi al-Haili.Kitab ini memuat tentang kajian biologi, tentang binatang-binatang dan hal-hal yang berkenaan dengannya.
·               Kitab al-Jawami’. Kitab ini banyak memuat tentang hal yang berkenaan dengan pendidikan.[7]
·               Kitab al-Kharaj. Kitab ini merupakan karya monumental beliau.Selain kitab ini memuat tentang banyak masalah-masalah yang erat kaitannya dengan fenomena-fenomena sosial, kitab ini pun telah dijadikan sebagai panduan dalam menentukan kebijakan perekonomian pada masa dinasti Abbasiyyah, terutama sejak di bawah pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid. Dengan kitab ini pulalah beliau dinobatkan menjadi faqih dan juga sebagai tokoh ekonomi muslim klasik. Penekanan kitab karya Abu Yusuf ini terletak pada tanggung jawab penguasa terhadap kesejahteraan rakyatnya. Secara umum kitab al-kharaj berisi tentang berbagai ketentuan agama yang membahas persoalan perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan public. Buku ini merupakan sebuah upaya untuk membangun system keuangan yang mudah dilaksanakan sesuai dengan hokum islam dalam kondisi yang selalu berubah dan sesuai dengan persyaratan ekonomi.[8]
Selain dari beberapa kitab di atas sebagian ilmuwan menginformasikan tentang masih banyak lagi kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf, seperti Al-Zakah, al-Shiyam, al-Bai’, al-Faraid, al-Wasiah, dan lain-lain.

3.      Pandangan Ekonomi Abu Yusuf
3.1.             Mekanisme[9]
Abu Yusuf dalam membenahi sistem perekonomian, ia membenahi mekanisme ekonomi dengan jalan membuka jurang pemisah antara kaya dan miskin. Ia memandang bahwa masyarakat memiliki hak dalam campur tangan ekonomi, begitu juga sebaliknya pemerintah tidak memiliki hak bila ekonomi tidak adil.

a.      Menggantikan sistem wazifah dengan sistem muqasamah[10]
Wazifah dan Muqasamah merupakan dua istilah yang digunakan Abu Yusuf dalam membahas sistem pungutan pajak. Menurut Abu Yusuf, sistem Wazifah perlu diganti dengan sistem Musaqamah, karena musaqamah merupakan sistem yang bisa mencapai keadilan ekonomi.

b.      Membangun fleksibilitas sosial[11]
Yang sering menjadi perbincangan dan diskusi yaitu ketika konsep agama dan negara dihadapkan tentang muslim dan non-muslim, diantaranya warga negara yang non-muslim harus membayar pajak, sedangkan warga muslim tidak diharuskan. Islam hanya mengakui warga muslim yang mendapat kepastian hukum penuh, sedangkan non-muslim tidak. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara penuh, yaitu kelompok Harbi, Musta’min, dan Zimmi.
Ketiga kelompok ini mendapat perhatian khusus dalam pandangan Abu Yusuf, dengan memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak terhadap mereka di tengah sesuai status kewarganegaraan, sistem perekonomian dan perdagangan, serta ketentuan hukum lainnya.Perhatian khusus tersebut diantaranya terlihat dalam mekanisme penetapan pajak Jizyah terhadap mereka.

c.       Membangun sistem politik dan ekonomi yang transparan[12]

Menurut Abu Yusuf pembangunan sistem ekonomi dan politik, mutlak dilaksanakan secara transparan, karena asas transparan dalam ekonomi merupakan bagian yang paling penting guna mencapai perwujudan ekonomi yang adil dan manusiawi.
Pengaturan pengeluaran negara, baik berkait dengan Insidental Revenue (Ghanimah dan Fai’) maupun Permanent Revenue (Kharaj, Jizyah, Ushr, dan Shadaqah/Zakat) dijelaskan secara transparan pengalokasiannya kepada masyarakat, terutama kaitannya dengan fasilitas publik.
Transparansi ini terwujud dalam peran dan hak asasi masyarakat dalam menyikapi tingkah laku dan kebijakan ekonomi, baik yang berkenaan dengan nilai-nilai keadilan (al-Adalah), kehendak bebas (al-Ikhtiyar), keseimbangan (al-Tawazun), dan berbuat baik (al-Ikhsan).

d.      Menciptakan sistem ekonomi yang otonom[13]
Salah satu upaya untuk mewujudkan visi ekonomi dalam pandangan Abu Yusuf adalah upaya menciptakan sistem ekonomi yang otonom (tidak terikat dari intervensi pemerintah).Dalam hal ini, mekanisme kerja yang beliau tawarkan adalah analisisnya terhadap regulasi harga yang bertentangan dengan teori supply and demand.
Bagi beliau, jumlah banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama bagi naik dan turunnya harga, tapi ada kekuatan lain yang lebih menentukan.

3.2. Keuangan Publik
a.      Ghanimah[14]
Ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang kafir melalui peperangan.
Dikatakan Abu Yusuf bahwa ghaminah merupakan sumber pemasukan Negara.Pemasukan dari ghanimah tetap ada dan menjadi bagian yang penting dalam keuangan publik.Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan sebagai pemasukan yang tidak tetap bagi Negara.

b.      Pajak (kharaj)
Kharaj adalah pajak tanah yang dipungut dari non muslim.[15] Menurut Abu Yusuf, tanah yang akan dikenai pajak antara lain[16] :
1.      Wilayah lain (di luar Arab) di bawah kekuasaan Islam
ü  Wilayah yang diperoleh melalui peperangan.
ü  Wilayah yang diperoleh melalui perjanjian damai.
ü  Wilayah yang dimiliki muslim diluar Arab. (mebayarUsyr)
2.      Wilayah yang berada di bawah perjanjian damai
ü  Penduduk yang kemudian masuk Islam (membayar Usyr)
ü  Penduduk yang tidak memeluk Islam (membayar Kharaj)
3.      Tanah taklukan
ü  Penduduk yang masuk Islam sebelum kekalahan, maka tanah yang mereka miliki akan tetap menjadi milik mereka dan harus membayar Usyr.
ü  Tanah taklukan tidak diserahkan dan tetap dimiliki dzimmi, maka wajib membayar Kharaj
ü  Tanah yang dibagikan kepada para pejuang, maka tanah tersebut dipungut Usyr.
ü  Tanah yang ditahan Negara, maka kemungkinan jenis pajaknya adalah Usyr dan Kharaj.
c.       Zakat[17]
Diantara objek pajak yang menjadi perhatiannya adalah : pertama, zakat pertanian. Jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar usyr yaitu 10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Yang termasuk kategori tanah ‘usryiyah menurut abu yusuf adalah :
1.      lahan yang termasuk jazirah arab, meliputi hijaz, makkah, madinah dan yaman.
2.      tanah tandus / mati yag dihidupkan kembali oleh orang islam.
3.      setiap tanah taklukan yang dibagikan kepada tentara yang ikut berperang, seperti kasus tanah khaibar
4.      tanah yang diberikan kepada orang islam, seperti tanah yang dibagikan melalui institusi iqta kepada orang-orang yang berjasa bagi Negara.
5.      tanah yang dimiliki oleh orang islam dari Negara, seperti tanah sebelumnya dimiliki oleh raja-raja Persia dan keluarganya, atau tanah yang ditinggalkan oleh musuh yang terbunuh atau melahirkan diri dari peperagan.
Kedua, objek zakat yang menjadi perhatiannya adalah zakat dari hasil mineral atau barang tambang lainnya.Abu yusuf dan ulama hanafiyah berpendapat bahwa standar zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti ganimah 1/5 atau 20% dari total produksi.
d.      Faiy’[18]
Fay’ adalah segala sesuatu yag dikuasai kaum muslimin dari harta orang kafir tanpa peperangan, temasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah perorangan dan usyr dari perdagangan.
Semua harta fay’ dan harta- harta yang mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupaka harta yang boleh dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam Bait Al-Mal, semuanya termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara, harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan Umat.
e.       Usyr (Bea Cukai)[19]
Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl jimmah dan penduduk kaum harbi yang melewati perbatasan Negara islam. Usyr dibayar dengan cash atau barang. Abu yusuf, melaporka bahwa abu musa al- as’ari, salah seorang gurbernur, pernah menulis kepada khalifah umar bahwa para pedagang muslim dikenakan bea dengan tarif sepersepuluh di tanah – tanah harbi. Khalifah umar menasehatinya untuk melakuka tiga hal yang sama dengan menarik bea dari mereka seperti yang mereka lakukan kepada pedagang muslim.
Tarif usyr ditetapkan sesuai dengan status pedagang. Jika ia muslim maka ia akan dikenakan zakat pedagang sebesar 2,5% dari total barang yang dibawanya. Sedangkan ahl jimah dikenakan tariff 5%, kafir harbi, dikenakan tariff 10%. Selain itu, kafir harbi dikenakan bea sebanyak kedatangan mereka ke Negara islam dengan barang yang sama tetapi, bagi pedagang muslim dan pedagang ahl jimmah bea hanya dikenakan sekali dalam setahun
Dalam pengumpulan bea, abu yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan.Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham.

B.     Pemikiran Abu Ubaid dalam Ekonomi

1.      Biografi
Abu Ubaid bernama Lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Beliau terlahir dikota Hirrah Khurasan sebelah barat laut Afganistan pada tahun 150 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azad.[20] Ia belajar pertamakali dikota asalnya, lalu pada usia 20 dia mulai berkelana dan mencari ilmu ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.

2.      Karya Abu Ubaid
Dalam setiap harinya, Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang.Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan AllahHasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain.Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih.Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam.Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.[21] Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.
Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. kitab  ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[22]



3.       Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
a.      Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi[23]
Abû ‘Ubaid dalam Al-Amwal jika dilihat dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian).Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi.
Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.
Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim.
Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak.

b.      Dikotomi Badui ke Urban
Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui ( masyarakat tradisional/desa), kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan  diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud; 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah[24]
Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’  hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan[25]
Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan.Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

c.        Kepemilikan Publik[26]
Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama.
Saya mengiginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi yang terakhir
Pernyataan abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang didapat dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam.

d.      Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian[27]
Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit.Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian.Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.

e.       Pertimbangan Kepentingan[28]
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat.Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”,

f.       Fungsi Uang[29]
Pada prinsipnya, Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange).dalam hal ini ia menyatakan:
“ Ada hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk membeli sesuatu (infaq).
Pernyataan abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Uraian singkat pemikiran Abu Yusuf diatas memperlihatkan perhatiannya yang besar pada sistem perekonomian yang semakin berkembang.Dan tanpa kehilangan jati dirinya, beliau mengedapankan nilai-nilai moral dan sosial yang merupakan salah satu implementasi dari pemahaman keislaman yang begitu mendalam. Kitab Al-Kharaj karyanya merupakan salah satu literatur dan bahan rujukan bagi para pemikir sesudahnya maupun pemikir-pemikir kontemporer dalam menyusun kembali sistem islam yang sempurna dari sisi ekonomi.
Bukan hal yang mustahil jika dikemudian hari terbentuk sistem ekonomi islam yang utuh yang merupakan hasil dari para pemikir ekonomi islam klasik maupun kontemporer. Dengan tetap berbasis pada sayari’at ( Quran dan Sunnah ). Pastinya disana kita akan melihat sosok Abu Yusuf menjadi salah satu bagian penting yang tercatat dengan tinta emas sejarah peradaban islam.
Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abû ‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan publik (public finance) secara adil.
Metode Abû ‘Ubaid adalah kerangka kerja doktrinal, wawasan analitis dan rekomendasi kebijakan dalam kaitan terhadap tujuan-tujuan syari’ah serta kontes sosial dan sejarahnya. Ia mampu mengartikulasikan ajaran hukum yang langsung bersumber dari nash yaitu al-Qur’an dan al-Hadis, serta atsarsahabat, dan tradisi masa awal Islam itu dapat dinilai dan diaplikasikan sesuai dengan kepentingan masanya.
Pemikiran‘Abû ‘Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisa para The Wealth of Nation pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya “” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abû ‘Ubaid dalam Kitâb al-Amwâl, padahal jarak antara keduanya cukup jauh. Tugas peneliti dan pemikir selanjutnya adalah menggali kembali khazanah fikih klasik yang lain sehingga dapat dimaknai nilainya dan diaplikasikan ke dalam konteks kehidupan saat ini.






















DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Adiwarman. 2001. Ekonimi Islam suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Azwar, Adiwarman. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta: International Insitute of Islamic Thought.
Azwar, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Azwar, Adiwarman. 2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Siddiqi, Muhammad. 1986. Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: LIPPM.



[1] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer. (Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005), 69
[2] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 69
[3]Biografi Abu Yusuf”. http://seyfudin.wordpress.com/, diakses 18 Mei 2010
[4] Madjid, M. Nazori, Pemiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003
[5] Ibid

[6] http://seyfudin.wordpress.com/
[7] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Yogyakarta. Ekonisia. 2003. Hal. 152
[8] Sabahuddin Azmi, Op. Cit., hlm.31
[9] http://seyfudin.wordpress.com/
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Madjid, M. Nazori, Pemiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003
[13] Biografi Abu Yusuf. http://seyfudin.wordpress.com/
[14] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer , 72
[15] Ibid, 76
[16] Ibid, 78
[17] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer , 72
[18] Euis Amalia. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Masa Klasik hingga Kontemporer, 74
[19] Ibid, 75
[20] Adimarwan Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi. (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 2006), 242
[21] P3EI dan UII, Ekonomi Islam, hal 108.
[22] Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004
[23] Ibid, 251-253
[24] Ibid, 254
[25] Ibid, 254
[26] http://kismawadi.blogspot.com/2010/04/biografi-dab-konsep-pemikiran-abu-ubaid.html
[27] Adimarwan Karim, 255-256
[28] Ibid, 256-257
[29] Ibid, 258-259

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar