Pinjaman atau
ariyah menurut bahasa adalah pinjaman, sedangkan menurut istilah ada beberapa
pendapat yaitu :
·
Menurut
hanafiyah : ariyah adalah memilikan manfaat secara Cuma Cuma
·
Menurut
malikiah : ariyah adalah memilikan manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa
imbalan
·
Menurut
syafi’iyah : ariyah adalah barang pinjaman yang wajib dikembalikan
Rukun dan syarat
ariyah menurut syafi’iyah adalah :
1.
Kalimat
lafadzh, seperti orang yang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan
ada yang menerima berkata “saya mengaku berutang (benda) kepada kamu”. Syarat
bendanya sama dengan syarat benda jual beli
2.
Mu’jir
yaitu orang yang menbgutangkan dan musta’jir yaitu orang yang menerima utang.
Syarat mu’jir dan musta’jir adalah baligh, berakal, orang tersebut tidak
dimahjur
3.
Benda
yang diutangkan yaitu :
·
Materi
yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan
·
Memenuhi
syara
Setiap orang yang meminjam
sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang
berpiutang. Setiap utang hukumnya wajib untuk dibayarkan maka dosalah bagi
mereka yang tidak membayar hutang, bahkan yang melalaikan mebayar hutang adalah
perbuatan aniaya. Melebihkan bayaran dari sejumlah pembayaran hutang
diperbolehkan asal atas kemauan orang yang berhutang. Jika kelebihan itu
dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam akad
maka hal demikan termasuk kedalam riba.
Jenis
jenis ariyah
1. ‘Ariyah Mutlaq : Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam
akadnya tidak
ada persyaratan apapun. Contohnya seorang meminjamkan
kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan
dengan penggunaan
kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat
mengendarainya. Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan
yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang
malam tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang
pinjaman rusak maka mu’jir harus bertanggung jawab.
2. ‘Ariyah Muqayyad : Adalah akad meminjamkan barang yang dibatasi dari
segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya atau salah
satunya. Maka musta’jir
harus bisa menjaga batasan tersebut. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila
menyebabkan musta’jir
tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut.
Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat
kesulitan untuk memanfaatkannya.
Abu hanifah dan malik berpendapat
bahwa peminjam boleh meminjamkan benda yang dipinjam kepada orang lain
sekalipun pemiliknya belum mengijinkan. Jika peminjam meminjamkan kepada orang
lain, kemudian barang tersebut rusak ditang kedua, maka pemiliknya berhak
meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya.
Tatkrama dalam berutang :
1.
Sesuai
dengan QS Al Baqarah 282, utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari
pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki laki atau dengan satu
orang saksi laki laki dan dua orang saksi perempuan. Untuk dewasa ini tulisan
tersebut diatas kertas bersegel atau bermaterai
2.
Pinjaman
hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan mebayar dan mengembalikannya
3.
Pihak
berpiutang hendaknya berniatnya memberikan pertolongan kepada pihak berutang.
Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya
membebaskannya
4.
Pihak
yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman hendaknya dipercepat
pembayaran utangnya karena lali dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim