Hukum Perdata
adalah hukum yang mengatur hubungan antarorang. Hukum Perdata bagi atas
dua bagian, yaitu Hukum Harta Benda (vermogensrecht) dan Hukum keluarga
(fomilierecht).
Hukum
Harta Benda adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hak dan wewenang
yang diakibatkan oleh penguasaan orang atas barang-barang ekonomi.
Hukum Keluarga adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan yang akibatkan dari hubungan antara laki-laki dan wanita.
Hukum Orang (personenrecht)
adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hak dan wewenang orang dan
perkumpulan yang disamakan dengan orang, berbagai hubungan yang timbul
dari hidup kekeluargaan, perubahan-perubahan hak, dan wewenang orang
yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan.
Hukum Waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak atas harta seseorang yang meninggal dunia kepada seseorang atau beberapa orang lain.
Persoon (oknum, pribadi)
adalah setiap makhluk yang berhak mempunyai hak dan kewajiban (tiap
subjek hukum). Orang adalah terutama persoon yang dimaksud dalam
undang-undang, tetapi di samping orang, hukum masih mengenal badan-badan
hukum (rechtspersonen). Perbedaan antara orang dan badan hukum terletak
:ada beberapa hak orang yang tidak dapat dimiliki badan hukum, antara
lain hak untuk mewarisi, menikah, mempunyai dan mengakui anak, dan
membuat wasiat.
Personlijkheid
(mempunyai sifat atau fungsi sebagai orang) seseorang mulai pada ia
saat lahir. Setiap anak yang lahir hidup mempunyai persoonlijkheid dan
dengan berhak mempunyai wewenang hukum (rechtsbevoegdheid) tanpa
mempedulikan berapa lama hidupnya. Dengan demikian anak yang baru lahir
itu sudah mempunyai Hak dan pada saat meninggalnya, hak itu pindah ke
seorang atau beberapa orang lain.
Terhadap
permulaan persoonlijkheid itu, yang dimulai pada saat lahirnya
seseorang, ada satu perkecualian, yaitu Pasal 2 yang mengatakan, bahwa
anak dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.
Jika sewaktu dilahirkan si anak sudah meninggal, anak itu dianggap tidak pernah ada. Ketentuan ini penting, khususnya dalam pembagian warisan dan ada hubungannya dengan Pasal 348 yang menentukan, bahwa jika seorang istri, setelah suaminya meninggal, menerangkan di hadapan Balai Harta Peninggalan (BHP), bahwa ia sedang mengandung, maka demi undang-undang BHP menjadi pengampu bagi anak dalam kandungan itu dengan nama Latin curator ventris. BHP berkewajiban melakukan segala sesuatu untuk menjamin hak anak dalam kandungan itu. Keterangan janda di hadapan BHP itu harus dilakukan sebelum lewat 300 hari sejak meninggalnya sang suami. Menurut instruksi BHP, keterangan seorang janda ini harus dilaporkan BHP kepada jaksa.
Pengampuan BHP atas anak dalam kandungan itu berakhir pada saat anak itu lahir hidup; pada saat itu juga perwalian demi undang-undang dimulai oleh ibunya dengan perwalian-pengawas dari BHP. Persoonlijkheid seseorang berakhir pada saat orang itu meninggal dunia.
Hubungan Darah (bloedverwantschap; KUHP: "kekeluargaan darah") adalah hubungan antara orang yang satu dan yang lain dalam satu garis keturunan dan juga antara orang-orang yang mempunyai nenek moyang yang sama. Hubungan darah antara orang yang satu dan orang yang lain dihitung menurut jumlah kelahiran yang ada di antara kedua orang tersebut; setiap kelahiran adalah satu derajat (grand) (Pasal 290). Urutan derajat dinamakan garis (Pasal 291).
Garis Lurus adalah urutan derajat antara orang-orang, yang satu adalah keturunan dari yang lain. Garis turun dibagi menjadi (Pasal 291): (a) garis lurus ke atas, yaitu hubungan seseorang dengan ayah dan ibunya serta nenek moyangnya; dan (b) garis lurus ke bawah, yaitu hubungan seseorang dengan keturunannya.
Garis Samping adalah urutan derajat antara orang yang satu bukanlah keturunan dari yang lain, tetapi orang itu mempunyai nenek moyang yang sama (Pasal 291).
Menghitung Derajat adalah hubungan darah antara dua orang dilakukan sebagai berikut: (a) garis lurus: mengikuti garis dan menghitung jumlah kelahiran (Pasal 293); (b) garis samping: mengikuti garis dan menghitung jumlah kelahiran dari orang yang satu sampai nenek moyang yang sama, ditambah dengan jumlah kelahiran dari nenek moyang itu ke orang yang lain (Pasal 294). Lihatlah contoh di bawah ini:
Hubungan Semenda (zwagerschap) adalah hubungan yang terjadi karena pernikahan, yaitu hubungan yang terjadi antara seorang suami atau istri dengan keluarga sedarah dari istri atau suami.
Menurut sistem BW yang tertulis dalam definisi ini maka: (1) hubungan semenda hanya ada antara G dan X, Y, I, dan K, dan lagi antara H dan A, B, E, dan F; dan (2) antara keluarga sedarah dari G dan keluarga sedarah dari H tidak ada hubungan ;emends, sehingga antara A, B, E, dan F tidak ada hubungan semenda dengan X, Y, L dan K.
Ketentuan-ketentuan di atas ini berlainan dengan kebiasaan di Indonesia, namun diterapkan oleh BW dalam berhagai bagiannya, antara lain bagian mengenai pernikahan dan warisan; selainnya dalam PJN.
I. DOMISILI (Woonplaats atau Tempat Tinggal)
BW mengenal dua jenis tempat tinggal, yaitu: I. tempat tinggal umum, dan II. tempat tinggal khusus atau yang dipilih.
A. Tempat Tinggal Umum
I
Tempat Tinggal Umum dibagi menjadi: (a) tempat tinggal sukarela atau bebas; dan (b) tempat tinggal yang tergantung pada orang lain.
1. Tempat Tinggal Sukarela atau Bebas
Pasal 17 menentukan bahwa setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggal yang dijadikannya sebagai kediaman utamanya (hoofdverblift) dan dalam hal seseorang tidak mempunyai tempat kediaman utama, maka kediamannya, tempat ia benar-benar berdiam, dianggap sebagai tempat tinggalnya. Tempat tinggal utama berarti tempat seseorang berada sehubungan dengan melakukan hak dan memenuhi kewajibannya. Pada umumnya seseorang hanya mempunyai satu tempat tinqgal. Oleh HR pernah diputuskan bahwa seseorang hanya mempunyai tempat
tinggal utama dan tidak lebih dari satu. Siapa yang mempunyai lebih
dari satu tempat tinggal pasti mempunyai satu tempat tinggal yang
terpenting. Perbedaan antara tempat tinggal utama dan tempat tinggal
tidaklah esensial; yang pertama adalah tempat seseorang berdiam untuk
seterusnya atau untuk waktu yang lama dan yang kedua adalah tempat
seseorang tinggal untuk sementara dan tidak untuk seterusnya.
Gelandangan yang berjalan dari tempat ke tempat tidak mempunyai tempat
tinggal, sedangkan seorang kapten kapal berdomisili di tempat kapal yang
ia nakhodai berdiam sementara.
2. Tempat Tinggal yang Tergantung pada Orang Lain
Mereka adalah:
(1)
wanita yang bersuami, yang tidak berpisah meja dan tempat tidur; wanita
itu mempunyai tempat tinggal di tempat tinggal suaminya (Pasal 21);
(2) anak di bawah umur mempunyai tempat tinggal di tempat orangtuanya menjalankan kekuasaan orangtua atau walinya;
(3) orang dewasa yang berada di bawah pengampuan bertempat tinggal di pengampunya (Pasal 21); dan
(4) pekerja yang tinggal di rumah majikannya bertempat tinggal di rumah majikannya.
(1)
Apabila seorang wanita yang menikah tinggal terpisah dari suaminya,
baik karena kemauannya sendiri maupun dengan izin hakim sambil menunggu
proses perceraian, maka wanita itu tetap bertempat tinggal di rumah
suaminya. Hanya ada satu perkecualian, yaitu apabila diputuskan suatu
pisah meja dan tempat tidur, maka istri diperbolehkan bertempat tinggal
sendiri.
(2)
Anak di bawah umur yang telah mendapat keputusan pendewasaan lengkap
(venia aetatis) mempunyai tempat tinggal tersendiri; anak yang telah
mendapat pendewasan terbatas tetap mempunyai tempat tinggal yang
tergantung pada orang lain, kecuali untuk tindakan yang untuknya ia
telah mendapat pendewasaan terbatas.
Anak
yang orangtuanya berpisah meja dan tempat tidur berdomisili di tempat
orangtuanya menjalankan kekuasaan orangtua dan apabila orangtuanya
bercerai, di tempat tinggal walinya.
(3)
Pasal 451 menentukan bahwa apabila seorang suami atau istri berada di
bawah pengampuan, hakim harus mengangkat istri atau suaminya sebagai
pengampu, kecuali ada alasan penting baginya untuk mengangkat orang Lain
sebagai pengampu; dengan demikian pada umumnya istri diangkat sebagai
pengampu suaminya dan sebaliknya. Dalam hal istri adalah pengampu
suaminya, tempat tinggal anaknya yang di bawah umur adalah di tempat
tinggal ibunya, juga apabila ibunya kemudian pindah; demikian juga
tempat tinggal suami yang berada di bawah pengampuan adalah di tempat
tinggal istrinya.
(4)
Seorang wanita yang menikah yang tinggal di rumah majikannya, tetap
mempunyai tempat tinggal di rumah suaminya berdasarkan Pasal 21 ayat 1
dengan menyimpang dari Pasal 22.
B. Tempat Tinggal yang Dipilih atau Tempat Tinggal Khusus (Pasal 24)
Tempat tinggal ini dibagi menjadi: (a) tempat tinggal yang terpaksa dipilih; dan (b) tempat tinggal yang dipilih sukarela.
Yang
dimaksud dengan terpaksa dalam sub (a) di atas terletak pada ketentuan
undang-undang seperti tersebut dalam Burgerlijke Rechtsvordering Pasal
504 ayat 2 dan Pasal 106 ayat 2 .
Tempat
tinggal yang dipilih sukarela dalam sub (b) dilakukan tertulis. Ini
berarti harus dilakukan dengan akta (Pasal 24 ayat 1); maksudnya,
apabila seseorang pindah, maka untuk tindak hukum dalam akta itu ia
tetap bertempat tinggal di tempat yang dipilih.
II. PERNIKAHAN
Menurut
BW, suatu pernikahan adalah suatu perjanjian antara seorang prig dan
seorang wanita untuk hidup bersama dengan maksud yang sama dan untuk
waktu yang lama. BW tidak mehhat pernikahan dari sudut fisiologis,
khususnya tidak melihat hubungan kelamin atau membuahkan anak sebagai
maksud suatu pernikahan. Orang yang tidak dapat melakukan hubungan
kelamin dan orang yang tidak dapat lagi memberi keturunan tidak dilarang
melangsungkan pernikahan.
Perjanjian
pernikahan yang dimaksud di atas tidak tunduk kepada Hukum Perjanjian
yang tertulis dalam Buku Ketiga BW, tetapi mempunyai akibat yang
tertulis antara Lain dan terutama dalam Buku Kesatu BW.
Pasal
26 mengatakan bahwa undang-undang memandang soal pernikahan hanya dalam
hubungannya dengan Hukum Perdata. Ini berarti-menurut sejarahnya-bahwa
undang-undang tidak memandang aturan-aturan yang ditentukan oleh suatu
agama. Penafsiran ini ada hubungannya dengan ketentuan Pasal 81 yang
mengatakan bahwa suatu upacara pernikahan keagamaan tidak boleh
dilangsungkan sebelum kedua pihak membuktikan bahwa pernikahan di
hadapan pegawai Kantor Catatan Sipil sudah dilangsungkan.
Syarat
yang harus dipenuhi untuk melangsungkan pernikahan menurut BW adalah
hal-hal yang tertulis di bawah ini dan dibagi dalam dua bagian: I.
syarat-syarat Lahiriah (luar), yaitu semua formalitas sehubungan dengan
dilangsungkannya pmikahan; dan II. syarat-syarat dalam, syarat-syarat
yang khusus mengenai kedua calon mempelai.
A. Syarat Lahiriah
ketentuan
syarat lahiriah ini terdapat dalam Pasal 50-70 dan berlaku hanya untuk
orang Eropa. seseorang yang hendak menikah harus memberitahukan kehendak
itu kepada pegawai Kantor Catatan Sipil di tempat tinggal salah satu
dari kedua belah pihak (Pasal 50). Pemberitahuan ini harus dilakukan
sendiri atau dengan yang menyatakan kehendak calon suami atau istri dan
dari pemberitahuan ini harus dibuat sebuah akta (Pasal 51).
Pemberitahuan kepada Kantor Catatan Sipil harus diumumkan, yaitu dengan
menempelkan pengumuman itu pada pinto depan Kantor Catatan Sipil yang
berkenaan. Pengumuman ini harus dipertahankan 10 hari, sedangkan hari
Minggu dan hari besar tidak termasuk. Dalam pengumuman itu harus dimuat:
(1) nama keluarga, nama kecil, pekerjaan, dan tempat tinggal calon
suami dan istri; (2) nama suami atau istri sebelumnya jika mereka atau
salah satunya pernah menikah; dan (3) tanggal, tempat, dan jam
pengumuman itu (Pasal 5).
Jika
calon suami dan calon istri tidak tinggal dalam daerah pegawai Kantor
Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman harus dilakukan di daerah
masing-masing calon suami dan calon istri (Pasal 53).
Pernikahan
harus dilangsungkan dalam satu tahun sejak tanggal pengumuman; apabila
lebih lama dari satu tahun, harus dilakukan pengumuman baru sebelum
pernikahan dapat dilangsungkan (Pasal 57).
Pernikahan
tidak dapat dilangsungkan sebelum lewat 10 hari sejak tanggal
pengumuman, hari pengumuman tidak dihitung (Pasal 75 ayat 1).
Peraturan
pengumuman ini khusus diadakan untuk memberi kesempatan bagi
orang-orang yang berhak melakukan pencegahan (stuiting). Pencegahan
pernikahan adalah suatu lembaga dalam BW sebagai daya upaya yang
diberikan undang-undang kepada beberapa orang untuk menyatakan
keberatannya terhadap suatu pernikahan dan hanya dalam hal-hal tertentu.
Untuk itu periksalah Pasal 60-70.
B. Syarat Calon Suami-Istri
1. Kemauan Bebas Kedua Calon Suami-Istri (Pasal 28)
Seorang
yang menderita penyakit gila tidak dapat menikah, sebab tidak sadar
akan kemauannya. Seandainya seorang gila dapat melangsungkan
pernikahannya, maka apabila ia berada di bawah pengampuan, orang-orang
tersebut dalam Pasal 88 dapat menyangkal keabsahan pernikahan itu.
Apabila ia tidak berada di bawah pengampuan, undang-undang tidak memberi
ketentuan.
Sebagaimana
diketahui, BW sudah berumur lebih dari 140 tahun; pada waktu itu
psikiatri belum begitu maju seperti pada masa sekarang. Dalam hal
undang-undang tidak memberi ketentuan, sebaiknya persoalannya diserahkan
kepada hakim pengadilan negeri, yang sekaligus memutuskan sah tidaknya
pernikahan itu setelah mendengar para psikiater.
Sehubungan
dengan asas kemauan bebas yang diikuti BW, maka suatu janji untuk
menikahi seseorang tidak memberi hak kepada orang tersebut untuk
menuntut pernikahan dan juga tidak memberi hak untuk menuntut
penggantian ongkos, kerugian, ataupun bunga sehubungan dengan tidak
dipenuhinya janji itu.
Segala
ketentuan, yang dibuat oleh calon suami dan calon istri mengenai
pembayaran ganti kerugian dalam hal janji untuk menikahi (trouwbelofte)
tidak dilaksanakan, adalah batal (Pasal 58 ayat 1). Namun apabila
pengumuman untuk pernikahan itu sudah dilakukan di Kantor Catatan Sipil,
maka yang menolak melangsungkan pernikahan dapat dituntut, tetapi hanya
untuk membayar ongkos, kerugian, dan bunga yang benar-benar diderita.
Tuntutan demikian menjadi kedaluwarsa setelah lewat 18 bulan, terhitung
dari pengumuman itu (Pasal 58 ayat 2 dan Pasal 58 ayat 3).
2. Berusia 18 Tahun untuk Pria dan 15 Tahun untuk Wanita (Pasal 29)
Seseorang hanya boleh dibebaskan dari ketentuan ini dengan dispensasi dari presiders Republik Indonesia (menteri Kehakiman) dengan alasan kuat (om gewichtige redenen), umpamanya karena wanita sudah hamil.
3. Asas Monogamitas (Pasal 27)
Seorang
pria pada waktu yang sama dapat terikat dalam pernikahan dengan hanya
seorang wanita dan seorang wanita dengan hanya seorang pria. Bigami
dapat dihukum. Pernikahan yang dilangsungkan di luar negeri juga
menyebabkan rintangan (beletsel) untuk menikah kedua kalinya.
4. Masa Menunggu Wanita selama 300 Hari (Pasal 34)
Setelah
suatu pernikahan berakhir, seorang wanita harus menunggu 300 hari
sebelum dapat mengikatkan diri dalam pernikahan baru. Ketentuan ini
dibuat oleh undang-undang untuk menghindarkan ketidakpastian tentang
siapa ayah dari anak yang akan lahir dalam jangka waktu 300 hari itu.
Anehnya, jika wanita ftu telah melahirkan–katakan–setelah 120 hari sejak
pernikahan putus, ia tetap harus menunggu 180 hari lagi.
5. Tidak Adanya Larangan Menikah
a. Hubungan darah atau hubungan semenda:
(1)
dengan orang dari garis lurus ke atas dan ke bawah (tidak mempedulikan
apakah hubungan darah itu sah atau tidak sah) atau karena hubungan
semenda;
(2)
dengan saudara kandungnya, sah atau tidak sah (Pasal 30), dengan paman
atau paman orangtua, bibi atau bibi orangtua, sah atau tidak sah; dan
(3)
dengan ipar laki-laki dan ipar perempuan karena pernikahan sah atau
tidak sah, kecuali apabila si suami atau si istri yang menyebabkan
hubungan semenda itu telah meninggal dunia atau dalam hal tak hadirnya
si suami atau si istri, telah diberi izin oleh hakim untuk menikah
kepada suami atau istri yang ditinggalkannya (Pasal 31 ayat 1).
Perlu
dicatat di sini, bahwa kalau ipar laki-laki atau ipar perempuan
mengakhiri pernikahan mereka karena perceraian (tidak karena kematian
atau tak hadir dalam arti undang-undang), maka larangan nikah itu tetap
berlaku. Ketentuan ini diadakan sebagai suatu hukuman apabila justru
ipar itu menyebabkan perceraian.
Dengan
meneliti larangan tersebut di atas, maka: (a) pernikahan antara
anak-anak dari saudara kandung tidak dilarang oleh undang-undang,
walaupun orang tidak menyukainya; (b) tidak dilarang pula pernikahan
antara seorang lelaki dan janda dari saudara kandung istrinya yang telah
meninggal dunia; lihatlah gambar di bawah ini:
A
boleh menikah dengan D, yaitu karena menurut undang-undang BW antara A
dan C ada hubungan semenda, tetapi tidak ada antara A dan D; lihatlah
definisi tentang hubungan semenda dan hubungan darah; dan (c) tidak
dilarang pula pernikahan antara seseorang dan bibi bekas istrinya atau
paman bekas suaminya/istrinya (dalam gambar di atas A menikah dengan X
atau D menikah dengan Y).
Walaupun
di sini ada hubungan semenda, namun larangan nikah dengan bibi atau
paman (Pasal 31 ayat 2) tidak mencakup hubungan semenda (lihat
sebelumnya pada sub a (2)).
Dispensasi
terhadap larangan nikah dapat diperolch dari presiders (menteri
Kehakiman), tetapi hanya diperlukan dalam hal pernikahan dengan paman/
paman orangtua atau bibi/bibi orangtua dan dengan ipar (larangan termuat
dalam Pasal 31).
Pernikahan
juga dilarang: (1) antara bekas suami dan bekas istri yang telah
menikah dua kali dan pernikahan kedua juga berakhir dengan perceraian
(Pasal 33 ayat 2); dan (2) antara bekas suami dan bekas istri dengan
seseorang yang dengannya salah satunya berzina dan menyebabkan
perceraian mereka; orang tersebut harus disebut dalam keputusan
perceraian hakim (Pasal 32).
Orang
yang pernikahannya berakhir karena perceraian (yang pertama kali) harus
menunggu 1 tahun sebelum mereka menikah untuk kedua kalinya. Pernikahan
kedua itu dalam bahasa Belanda disebut reparatie-huwelijk atau
perbaikan pernikahan.
b. Izin orangtua atau orang yang disebut dalam undang-undang
Siapa yang harus memberi izin nikah menurut undang-undang BW?
1) Anak sah di bawah umur (belum 21 tahun):
a.a. memerlukan izin dari kedua orangtua mereka;
a.b. apabila salah satu dari kedua orangtua:
(1) meninggal dunia: dari orangtua yang masih hidup;
(2) dipecat dari kekuasaan orangtua: tetap dari kedua orangtua, tetapi kalau orangtua
yang dipecat tidak mau memberi izin, sedangkan yang tidak dipecat
memberi izin, maka izin dari orangtua yang dipecat dapat diganti dengan
izin (dimintakan dari) pengadilan negeri; dan
(3)
tidak dalam keadaan mampu untuk mengutarakan kemauannya (sakit saraf,
tidak hadir menurut undang-undang, sakit keras, dan sebagainya): hanya
dari orangtua yang lain; dan
a.c. (Pasal 35) kalau kedua orangtua:
(1)
cerai atau pisah meja/tempat tidur: izin tetap diperlukan dari kedua
orangtua. Semua ketentuan ini mengakibatkan, apabila anak sah itu tidak
diberi izin nikah dari salah satu dari orangtuanya (tanpa mengurangi
ketentuan sub a.b./ (2)), anak itu tidak dapat melangsungkan pernikahan
sampai ia mencapai umur 21 tahun (lihat di bawah);
(2)
dipecat atau dibebaskan: izin tetap diperlukan dari kedua orangtuanya
ditambah dengan izin dari walinya. Kalau anak itu mau menikah dengan
walinya atau dengan keluarga dari wali dalam garis lurus, izin tambahan
diperlukan dari wali-pengawas. Dalam hal ini, tetapi hanya apabila
orangtua yang dibebaskan dari kekuasaan orangtua atau perwalian mau
memberi izin, izin dari orangtua yang dipecat, dari wali dan
wali-pengawas; apabila mereka menolak, dapat diganti dengan izin
(dimintakan dari) pengadilan negeri. Pembebasan dari kekuasaan orangtua
tidak ada pengaruhnya dalam hal perizinan menikah, artinya anak sah
tetap memerlukan izin dari orangtua yang dibebaskan sebelum ia dapat
menikah; dan
(3)
meninggal dunia: (3a) izin dari kedua orangtua dari masing-masing ayah
dan ibu diperlukan (4 orang), sepanjang mereka masih hidup. Jika yang
menjadi wali anak itu orang lain dari mereka, izin dari wali juga
diperlukan (Pasal 37 ayat 1); (3b) dalam hal anak mau menikah dengan
walinya atau keluarga wali dalam garis lurus, izin tambahan diperlukan
dari wali-pengawas (Pasal 37 ayat 2): (3c) dalam hal mereka tersebut
dalam (3a) dan (3b) tidak sepakat (artinya ada yang ingin memberi izin,
ada yang menolak), maka izin dari yang menolak dapat diganti dengan izin
hakim pengadilan negeri (Pasal 37 ayat 3); akibat dari ketentuan ini
adalah bahwa apabila semua orang yang izin nikahnya diperlukan menolak,
izin dari pengadilan negeri tidak dapat menggantinya; dan (3d) jika
mereka yang harus memberi izin semuanya sudah tidak ada atau dalam
keadaan tidak dapat mengutarakan kemauannya, izin diperlukan hanya dari
wali dan wali-pengawas (Pasal 38). Kedua izin ini dapat diganti dengan
izin pengadilan negeri.
Dalam
semua kejadian izin dari pengadilan negeri yang diminta (lihat
Ba/a.b./(2), Ba/a.c./(3c) dan (3d)), hakim wajib mendengar orang-orang
yang disebut dalam pasal-pasal yang berkenaan.
2) Anak luar nikah (anak alam) di bawah umur
(1)
Jika anak itu diakui oleh kedua orangtua, izin nikah diperlukan dari
kedua orangtua; jika satu telah meninggal dunia atau berada dalam
keadaan tidak mampu mengutarakan kemauannya, hanya dari orangtua yang
lain.
(2) Jika anak itu hanya diakui oleh salah satu dari orangtua, izin diperlukan dari orangtua itu.
(3)
Jika anak itu mempunyai wali, orang lain dari orangtuanya sendiri, maka
izin nikah diperlukan dari orangtua yang mengakuinya dan dari walinya;
jika anak itu hendak menikah dengan walinya atau keluarga dari wali
dalam garis lurus, masih diperlukan izin tambahan dari wali-pengawas.
Kalau
antara mereka yang menurut undang-undang harus memberi izin untuk
menikah kepada anak luar nikah itu (termasuk orangtua dari anak luar
nikah itu) ada perbedaan pendapat, maka izin yang diperlukan dari orang
yang menolak memberinya dapat diganti dengan izin hakim pengadilan
negeri (Pasal 39 ayat 3).
Perhatian:
Di sini ada 2 hal yang harus diingat: pertama, dalam hal perizinan
nikah anak luar nikah berlaku juga, bahwa jika orang yang wajib memberi
izin nikah kepada anak itu semuanya menolak, maka hakim tidak dapat
memberi izin; dan kedua, ternyata hakim dapat mengganti izin dari
orangtua anak luar nikah itu, apabila orangtua itu menolak memberinya;
ini tidak dapat terjadi dalam hal anak sah. Nyatalah di sini, bahwa
pembuat undang-undang melihat hubungan antara orangtua dan anak yang
diakuinya tidak begitu erat seperti dalam hal anak sah dengan
orangtuanya. Anak sah harus mendapat izin dari orangtuanya; apabila
tidak, anak sah itu tidak dapat melangsungkan pernikahannya.
(4)
Dalam hal kedua orangtuanya yang telah mengakuinya telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu mengutarakan kemauannya, maka izin
nikah untuk anak luar nikah itu harus diperolch dari wali dan
wali-pengawas. Kalau wali dan wali-pengawas atau salah satunya menolak,
maka izin dapat diganti dengan izin dari hakim; pendapat dari keluarga
hubungan darah dan hubungan semenda kedua orangtua tidak dimintai.
Ketentuan ini adalah akibat dari pendirian BW, bahwa pengakuan anak
hanya melahirkan hubungan perdata antara anak dan orangtua yang
mengakuinya dan tidak dengan keluarga sedarah dari orangtuanya.
Dalam
hal ibu dari anak luar nikah itu termasuk golongan Hukum Indonesia Asti
atau Timur Asing, maka ketentuan 2) (1)—(4) di atas tidak berlaku dan
anak tunduk kepada Hukum Adat kecuali: (1) bapaknya adalah orang dari
golongan Hukum Eropa atau Timur Asing Cina dan bapaknya mengakui anak
tersebut; dan (2) ibunya adalah orang dari golongan Timur Asing Cina
yang telah mengakui anak.
Dalam
hal (1) dan (2) semua ketentuan dalam 2) (1)—(4) berlaku. Apabila bapak
anak luar nikah itu termasuk golongan Hukum Eropa atau golongan Hukum
Timur Asing Cina dan mengakui anak itu, maka izin ibunya untuk
pernikahan anak luar nikah itu adalah sebagai berikut:
Apabila
ibunya termasuk golongan Hukum Indonesia Asli, izin dari ibu tidak
diperlukan. Ini adalah suatu akibat dari Pasal 284 ayat 3 yang
menentukan, bahwa hubungan antara ibu dari golongan Indonesia Asti itu
putus disebabkan pengakuan oleh ayahnya (ketentuan ini berhubung dengan
kemerdekaan Indonesia tidak berlaku lagi).
Apabila
ibu anak itu termasuk golongan Timur Asing Cina dan mengakui anak itu,
maka izin dari ibu itu diperlukan. Demikianlah ketentuan menurut BW
sebelum kemerdekaan. Karena Pasal 284 ayat 3 dianggap tidak berlaku
lagi, maka tanpa mempedulikan lagi ibu termasuk golongan hukum mana
saja, izin untuk menikah dari ibu diperlukan.
Anak
luar nikah yang tidak diakui oleh kedua orangtuanya, memerlukan izin
dari wali dan wali-pengawasnya untuk menikah. Apabila izin ini atau
salah satunya ditolak, maka dapat diganti dengan izin hakim pengadilan
negeri.
3) Anak dewasa menurut BW (21 tahun dan lebih)
Anak-anak
sah yang telah berumur 21 tahun tetapi belum mencapai umur cukup 30
tahun masih memerlukan izin hanya dari orangtuanya (Pasal 42). Jika
mereka menolak memberi izin, maka izin orangtua itu dapat diganti dengan
izin hakim pengadilan negeri; akta yang dibuat dari permohonan izin
kepada hakim ini diberi nama akte van eerbied (akta penghormatan; Prof.
Mr. Pitlo 1946, hlm. 124), nama yang diambil dari hukum Perancis; si
anak harus mengajukan permohonan izin kepada orangtuanya dan dari
permohonan ini dibuat suatu akta yang diberi nama acte respectueux
(Asser-Scholten 1947, hlm. 59).
Prosedur.
Pengadilan negeri memanggil untuk didengar ayah/ibu dan anak yang
bersangkutan dengan ketentuan, jika: (1) kedua orangtua tidak datang di
pengadilan negeri, maka anak itu dapat melangsungkan pernikahannya
dengan menunjukkan kepada pegawai Kantor Catatan Sipil akta yang
menyatakan bahwa orang-orangtuanya tidak datang (Pasal 44); (2) anak
tidak datang di pengadilan negeri, maka permohonannya kepada hakim gugur
(Pasal 45); dan (3) kedua atau salah sara dari dari orangtua dan anak
hadir dan kedua atau salah satu da orangtua tetap tidak memberi izin,
maka pernikahan dapat dilangsungkan setelah lewat masa 3 bulan sejak
hari mereka hadir di pengadilan negeri (Pasal 46).
Ketentuan
(1)–(3) ini berlaku juga terhadap anak luar nikah yang berumur antara
21-30 tahun (Pasal 47). Dari ketentuan ini nyatalah bahwa izin dari
nenek dan kakek anak sah berumur 21-30 tahun tidak perlu diminta lagi,
apabila kedua orangtua dari anak itu sudah meninggal dunia. Anak luar
nikah yang diakui (seperti juga anak sah) yang berumur 30 tahun dan
lebih, bebas melangsungkan pernikahan tanpa izin apa pun.
c. Orang di bawah pengampuan
Kalau
orang itu tidak dapat mengutarakan kehendaknya (gila), ia tidak dapat
menikah. Dalam hal pengampuan ini BW hanya memberi perkecualian dalam
Pasal 452 ayat 2 bagi mereka yang berada di bawah pengampuan karena
keborosan. Kurandus itu dapat menikah asal saja dengan izin pengampu dan
pengampupengawas. Kalau pemberian kedua izin itu atau salah satunya
ditolak, maka izin itu dapat diganti dengan izin hakim pengadilan
negeri.
Mengenai
pernikahan orang yang karena kelemahan pikiran (zwakheid von vermogen;
cacat mental) berada di bawah pengampuan tidak diberi penegasan oleh BW.
AsserSchotten 1947, hlm. 44 berpendapat bahwa kurandus itu dapat
menikah asalkan ada izin dari pengampu dan pengampu-pengawas.
C. Pencegahan Pernikahan
Ini
adalah suatu daya upaya undang-undang untuk memberi kesempatan kepada
beberapa orang tertentu dalam hal-hal tertentu untuk mencegah
berlangsungnya suatu pernikahan. Dalam hal-hal mana dan oleh siapa suatu
pernikahan dapat dicegah, harap pelajari Pasal 59-70.
D. Berlangsungnya Pernikahan
Pernikahan
dapat dilangsungkan setelah lewat 10 hari sejak pengumuman, tidak
termasuk hari pengumuman. Gubernur dapat memberi dispensasi dari
ketentuan ini berdasarkan alasan yang berbobot. Tanda-tanda yang harus
diberikan kepada pegawai Kantor Catatan Sipil adalah: (1) akta kelahiran
calon mempelai; (2) perizinan nikah yang diperlukan masing-masing calon
mempelai; (3) dalam hal pernikahan kedua atau lebih, akta kematian
suami atau istri sebelumnya, akta cerai atau keputusan hakim dalam hal
suami atau istri dahulu tidak hadir; (4) akta kematian dari orang-orang
yang seharusnya memberi izin nikah; (5) pemberian dispensasi kalau ada;
(6) untuk perwira dan prajurit izin atasannya; dan (7) tidak adanya
pencegahan (stuiting) pernikahan.
Akta
kelahiran, apabila tidak ada, dapat diganti dengan akta kenal (akte von
bekendheid). Pegawai Kantor Catatan Sipil berwenang menentukan apakah
surat-surat cukup memenuhi undang-undang. Seumpamanya pegawai Kantor
Catatan Sipil memberi keputusan bahwa surat-surat tidak cukup dan
orang-orang yang berkepentingan tidak menyetujui keputusan itu, maka
pengadilan negeri memutuskannya atas permintaan yang berkepentingan.
Tempat
berlangsungnya pernikahan adalah Kantor Catatan Sipil di tempat tinggal
salah satu calon mempelai dengan dihadiri 2 orang saksi yang bertempat
tinggal di Indonesia
dan telah mencapai usia genap 21 tahun. Pernikahan juga dapat
dilangsungkan di gedung lain apabila calon mempelai berhalangan pergi ke
Kanto Catatn Sipil, asalkan gedung itu terletak dalam daerah kuasa
kantor tersebut.
Pada
dasarnya kedua mempelai harus hadir sendiri, tetapi sebagai
perkecualian Menteri Kehakiman dapat menyetujui pernikahan dilakukan
dengan seorang wakil yang diberi kuasa dengan surat autentik. Cara menikah ini juga diberi nama "menikah dengan sarung tangan", yaitu terjemahan dari trouwen met de handschoen.
Jika sebelum pernikahan dilangsungkan, orang yang memberi kuasa secara
sah menikah dengan seorang lain, maka pernikahan dengan wakil khusus itu
dianggap tidak pernah berlangsung (Pasal 79 ayat 2); demikian juga jika
sebelum pernikahan, orang yang memberi kuasa meninggal dunia atau
mencabut kuasa itu, walaupun pencabutan terlambat tibanya, kata
Asser-Wiarda-Scholten 1947, hlm. 82.
Para
pihak harus mengatakan di hadapan pegawai Kantor Catatan Sipil dengan
dihadiri oleh saksi, bahwa mereka menerima yang lain sebagai suami atau
istri dan akan patuh melaksanakan kewajibannya sebagai demikian; setelah
itu pegawai Kantor Catatan Sipil menyatakan, bahwa kedua mempelai telah
terikat dengan pernikahan.
Pernikahan yang dilangsungkan dengan sah di luar negeri, diakui di Indonesia apabila:
(1) pernikahan itu telah dilangsungkan sesuai dengan aturan antang-undang negara asing yang bersangkutan; dan
(2) Warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan yang berlaku di Indonesia terhadap diri sendiri.
Setiap
pernikahan yang dilangsungkan di luar negeri harus didaftarkan dalam
register pernikahan di tempat tinggal segera setelah kedua mempelai
kembali di tanah air yaitu dalam kurun waktu 1 tahun setelah datang.
Tidak didaftarkannya pernikahan seperti yang ditentukan di atas tidak
berpengaruh terhadap sah tidaknya pernikahan yang dilakukan di luar
negeri itu. Setelah lewat 1 tahun tersebut, pendaftaran masih dapat
dilakukan dengan penambahan akta-akta Kantor Catatan Sipil menurut Pasal
13 dan seterusnya. Dari suatu pernikahan yang dilangsungkan harus
dibuat akta oleh pegawai Kantor Catatan Sipil yang harus didaftarkan
dalam register Kantor Catatan Sipil. Akta itu memberi bukti lengkap
adanya pernikahan dan tidak dapat dibuktikan dengan cara lain (Pasal
100).
Terhadap ketentuan ini ada dua perkecualian tertulis dalam Pasal 101 dan 102 .
(Disalin Dari Studi Notariat - Tan Thong Kie 2007 sebagai bahan materi perkuliahan)