Hukum Benda adalah Peraturan –peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau barang-barang (zaken) dan Hak Kebendaan (zakelijk recht). Pengertian
benda dapat dibedakan menjadi pengertian dalam arti sempit dan dalam
arti luas. Pengertian ialah benda dalam arti sempit ialah setiap barang
yang dapat diihat saja (berwujud). Sedangkan pengertian benda dalam arti
luas disebut dalam Pasal 509 KUHPerdata yaitu benda ialah tiap
barang-barang dan hak-hak yamg dapat dikuasai dengan hak milik atau
denga kata lain benda dalam konteks hukum perdata adalah segala sesuatu
yang dapat diberikan / diletakkan suatu Hak diatasnya, utamanya yang
berupa hak milik. Dengan demikian, yang dapat memiliki sesuatu hak
tersebut adalah Subyek Hukum, sedangkan sesuatu yang dibebani hak itu
adalah Obyek Hukum.
Dasar Hukum Benda
Benda yang dalam hukum perdata
diatur dalam Buku II BW, pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II
BWI ini mempergunakan system tertutup, artinya orang tidak diperbolehkan
mengadakan hak hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang
undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht),
artinya harus dipatuhi,tidak boleh disimpangi, termasuk membuat
peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan . Lebih lanjut
dalam hukum perdata, yang namanya benda itu bukanlah segala sesuatu
yang berwujud atau dapat diraba oleh pancaindera saja, melainkan
termasuk juga pengertian benda yang tidak berwujud, seperti misalnya
kekayaan seseorang. Istilah benda yang dipakai untuk pengertian
kekayaan, termasuk didalamnya tagihan / piutang, atau hak hak lainnya,
misalnya bunga atas deposito . Meskipun pengertian zaak dalam
BWI tidak hanya meliputi benda berwujud saja, namun sebagian besar dari
materi Buku II tentang Benda mengatur tentang benda yang berwujud.
Selain itu, istilah zaak didalam BWI tidak selalu berarti
benda, tetapi bisa berarti yang lain, seperti : “perbuatan hukum “
(Ps.1792 BW), atau “kepentingan” (Ps.1354 BW), dan juga berarti
“kenyataan hukum” (Ps.1263 BW).
Pada masa kini, selain diatur di Buku II BWI, hukum benda juga diatur dalam:
- Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, dimana diatur hak-hak kebendaan yang berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya.
- Undang-Undang Merek No.21 Tahun 1961, yang mengatur tentang hak atas penggunaan merek perusahaan dan merek perniagaan .
- Undang-Undang Hak Cipta No.6 Tahun 1982, yang mengatur tentang hak cipta sebagai benda tak berwujud, yang dapat dijadikan obyek hak milik .
- Undang-Undang tentang Hak Tanggungan tahun 1996, yang mengatur tentang hak atas tanah dan bangunan diatasnya sebagai pengganti hipotik dan crediet verband .
Macam-macam Benda
Doktrin membedakan berbagai macam benda menjadi :
1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud.
Arti penting pembedaan ini adalah pada saat pemindah tanganan benda dimaksud, yaitu :
- Jika benda berwujud itu benda bergerak, pemindah tanganannya harus secara nyata dari tangan ke tangan.
- Jika benda berwujud itu benda tidak bergerak, pemindah tanganannya harus dilakukan dengan balik nama.
Penyerahan benda tidak berwujud dalam bentuk berbagai piutang dilakukan dengan :
- Piutang atas nama (op naam) dengan cara Cessie
- Piutang atas tunjuk (an toonder) dengan cara penyerahan surat dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan
- Piutang atas pengganti (aan order) dengan cara endosemen serta penyerahan dokumen yang bersangkutan dari tangan ke tangan ( Ps. 163 BWI).
Benda bergerak adalah
benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan (Ps.509 BWI). Benda
bergerak karena ketentuan undang undang adalah hak hak yang melekat pada
benda bergerak (Ps.511 BWI), misalnya hak memungut hasil atas benda
bergerak, hak memakai atas benda bergerak, saham saham perusahaan. Benda
tidak bergerak adalah benda yang menurut sifatnya tidak dapat
dipindah-pindahkan, seperti tanah dan segala bangunan yang berdiri
melekat diatasnya. Benda tidak bergerak karena tujuannya adalah benda
yang dilekatkan pada benda tidak bergerak sebagai benda pokoknya, untuk
tujuan tertentu, seperti mesin mesin yang dipasang pada pabrik.
Tujuannya adalah untuk dipakai secara tetap dan tidak untuk
dipindah-pindah (Ps.507 BWI). Benda tidak bergerak karena undang undang
adalah hak hak yang melekat pada benda tidak bergerak tersebut, seperti
hipotik, crediet verband, hak pakai atas benda tidak bergerak, hak
memungut hasil atas benda tidak bergerak (Ps.508 BWI).
Arti penting pembedaan benda sebagai bergerak dan tidak bergerak terletak pada :
- penguasaannya (bezit), dimana terhadap benda bergerak maka orang yang menguasai benda tersebut dianggap sebagai pemiliknya (Ps.1977 BWI); azas ini tidak berlaku bagi benda tidak bergerak.
- penyerahannya (levering), yaitu terhadap benda bergerak harus dilakukan secara nyata, sedangkan pada benda tidak bergerak dilakukan dengan balik nama ;
- kadaluwarsa (verjaaring), yaitu pada benda bergerak tidak dikenal daluwarsa, sedangkan pada benda tidak bergerak terdapat kadaluwarsa :dalam hal ada alas hak, daluwarsanya 20 tahun; dalam hal tidak ada alas hak, daluwarsanya 30 tahun
- pembebanannya (bezwaring), dimana untuk benda bergerak dengan gadai, sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik.
- dalam hal pensitaan (beslag), dimana revindicatoir beslah (penyitaan untuk menuntut kembali barangnya), hanya dapat dilakukan terhadap barang barang bergerak . Penyitaan untuk melaksanakan putusan pengadilan (executoir beslah) harus dilakukan terlebih dahulu terhadap barang barang bergerak, dan apabila masih belum mencukupi untuk pelunasan hutang tergugat, baru dilakukan executoir terhadap barang tidak bergerak.
- Benda dipakai habis dan benda tidak dipakai habis
Pembedaan ini penting
artinya dalam hal pembatalan perjanjian. Pada perjanjian yang obyeknya
adalah benda yang dipakai habis, pembatalannya sulit untuk mengembalikan
seperti keadaan benda itu semula, oleh karena itu harus diganti dengan
benda lain yang sama / sejenis serta senilai. Pada perjanjian yang
obyeknya adalah benda yang tidak dipakai habis tidaklah terlalu sulit
bila perjanjian dibatalkan, karena bendanya masih tetap ada,dan dapat
diserahkan kembali.
3. Benda sudah ada dan benda akan ada
Arti penting pembedaan
ini terletak pada pembebanan sebagai jaminan hutang, atau pada
pelaksanaan perjanjian. Benda sudah ada dapat dijadikan jaminan hutang
dan pelaksanaan perjanjiannya dengan cara menyerahkan benda tersebut.
Benda akan ada tidak dapat dijadikan jaminan hutang, bahkan perjanjian
yang obyeknya benda akan ada bisa terancam batal bila pemenuhannya itu
tidak mungkin dapat dilaksanakan (Ps.1320 btr 3 BWI) .
4. Benda dalam perdagangan dan benda luar perdagangan.
Arti penting dari
pembedaan ini terletak pada pemindah tanganan benda tersebut karena jual
beli atau karena warisan. Benda dalam perdagangan dapat diperjual
belikan dengan bebas, atau diwariskan kepada ahli waris,sedangkan benda
luar perdagangan tidak dapat diperjual belikan atau diwariskan,
umpamanya tanah wakaf, narkotika, benda benda yang melanggar ketertiban
dan kesusilaan.
5. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi.
Letak pembedaannya
menjadi penting dalam hal pemenuhan prestasi suatu perjanjian, di mana
terhadap benda yang dapat dibagi, prestasi pemenuhan perjanjian dapat
dilakukan tidak sekaligus, dapat bertahap. Lain halnya dengan benda yang
tidak dapat dibagi, maka pemenuhan prestasi tidak dapat dilakukan
sebagian demi sebagian, melainkan harus secara seutuhnya.
6. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar.
Arti penting pembebannya terletak pada pembuktian kepemilikannya. Benda terdaftar dibuktikan dengan bukti pendaftarannya.
TINJAUAN TENTANG HAK KEBENDAAN
Perbedaan antara hak kebendaan yang
diatur dalam Buku II BWI dengan hak perorangan yang diatur dalam Buku
III BWI adalah sebagai berikut :
- Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut), karena berlaku terhadap siapa saja, dan orang lain harus menghormati hak tersebut, sedangkan hak perorangan berlaku secara nisbi (relatief), karena hanya melibatkan orang / pihak tertentu saja, yakni yang ada dalam suatu perjanjian saja.
- Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama seseorang masih hidup, atau bahkan bisa berlanjut setelah diwariskan kepada ahli warisnya, sedangkan hokum perorangan berlangsung relatif lebih singkat, yakni sebatas pelaksanaan perjanjian telah selesai dilakukan.
- Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku, tidak boleh mengarang / menciptakan sendiri hak yang lainnya, sedangkan dalam hak perorangan, lingkungannya amat luas, apa saja dapat dijadikan obyek perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu sering dikatakan hokum kebendaan itu bersifat tertutup, sedangkan hukum perorangan bersifat terbuka.
Ciri ciri Hak Kebendaan
Ciri hak kebendaan ialah :
- mutlak / absolute
- mengikuti benda dimana hak itu melekat, misalnya hak sewa tetap mengikuti benda itu berada, siapapun yang memiliki hak diatasnya
- hak yang ada terlebih dahulu (yang lebih tua), kedudukannya lebih tinggi;
- memiliki sifat diutamakan
- dapat dilakukan gugatan terhadap siapapun yang mengganggu hak yang bersangkutan.
- pemindahan hak kebendaan dapat dilakukan kepada siapapun .
Hak atas Kebendaan dibagi dalam 2 (dua) macam, yaitu :
1. Hak Kebendaaan yang memberi kenikmatan .
Selain yang mengenai
tanah, karena sudah diatur dalam UUPA, maka hak kebendaan yang termasuk
dalam kategori ini adalah ;Bezit ; Hak Milik (eigendom) ; Hak Memungut
Hasil ; Hak Pakai ; Hak Mendiami.
Hak atas tanah yang
dengan berlakunya UUPA dinyatakan tidak berlaku lagi: Hak bezit atas
tanah ; Hak eigendom atas tanah, Hak servitut ; Hak opstal ; Hak
erfpacht ; Hak bunga atas tanah, Hak pakai atas tanah
Dengan berlakunya UUPA, pengganti dari hak atas tanah yang dihapus adalah :
- Hak Milik ; Hak Guna Usaha ; Hak Guna Bangunan ; Hak Pakai
- Hak Sewa untuk bangunan ; Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
- Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
- Hak guna ruang angkasa
- Hak hak tanah untuk kepentingan keagamaan dan social
- Hak Gadai (pandrechts)
- Hipotik
- Credietverband
- Privilege (piutang yang di istimewakan).
- Fiducia
Perolehan Hak Kebendaan
Ada beberapa cara untuk memperoleh hak kebendaan, seperti :
1. Melalui Pengakuan
Benda yang tidak
diketahui siapa pemiliknya (res nullius) kemudian didapatkan dan diakui
oleh seseorang yang mendapatkannya, dianggap sebagai pemiliknya.
2. Melalui Penemuan
Benda yang semula milik
orang lain akan tetapi lepas dari penguasaannya, karena misalnya jatuh
di perjalanan, maka barang siapa yang menemukan barang tersebut dan ia
tidak mengetahui siapa pemiliknya, menjadi pemilik barang yang
diketemukannya .
3. Melalui Penyerahan
Cara ini yang lazim, yaitu hak kebendaan diperoleh melalui penyerahan berdasarkan alas hak (rechts titel)
tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa, hibah, warisan dsb. Dengan
adanya penyerahan maka titel berpindah kepada siapa benda itu
diserahkan.
4. Dengan Daluwarsa
Barang siapa menguasai
benda bergerak yang dia tidak ketahui pemilik benda itu sebelumnya
(misalnya karena menemukannya), hak milik atas benda itu diperoleh
setelah lewat waktu 3 tahun sejak orang tersebut menguasai benda yang
bersangkutan. Untuk benda tidak bergerak, daluwarsanya adalah :
- jika ada alas hak, 20 tahun
- jika tidak ada alas hak, 30 tahun
- Melalui Pewarisan, hak kebendaan bisa diperoleh melalui warisan berdasarkan hukum waris yang berlaku, bisa hukum adat, hukum Islam atau hukum barat.
Seseorang yang
menciptakan benda baru, baik dari benda yang sudah ada maupun sama
sekali baru, dapat memperoleh hak milik atas benda ciptaannya itu.
7. Dengan cara ikutan / turunan
Hapusnya Hak Kebendaan
Hak kebendaan dapat hapus / lenyap karena hal hal :
1. Bendanya Lenyap / musnah
Karena musnahnya sesuatu benda, maka hak atas benda tersebut ikut lenyap,
2. Karena dipindah-tangankan
Hak milik, hak memungut hasil atau hak pakai menjadi hapus bila benda yang bersangkutan dipindah tangankan kepada orang lain.
3. Karena Pelepasan Hak4. Karena Kadaluwarsa
Daluwarsa untuk barang tidak bergerak pada umumnya 30 tahun (karena ada alas hak), sedangkan untuk benda bergerak 3 tahun.
5. Karena Pencabutan Hak
Penguasa publik dapat
mencabut hak kepemilikan seseorang atas benda tertentu, dengan memenuhi
syarat : harus didasarkan suatu undang undangdilakukan dan untuk
kepentingan umum (dengan ganti rugi yang layak ).
TINJAUAN TENTANG HAK KEBENDAAN
YANG MEMBERI KENIKMATAN
Bezit.
Bezit diatur dalam (Ps. 529 s/d 568
BWI). Secara harfiah berarti Penguasaan. Maksudnya adalah “barang siapa
menguasai suatu barang, maka dia dianggap sebagai pemiliknya”. Menurut
Ps. 529 BWI, bezit adalah keadaan seseorang yang menguasai suatu benda,
baik dengan diri sendiri maupun melalui perantaraan orang lain, dan yang
mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki benda itu.
Menurut Prof.Subekti lebih dijelaskan maknanya sebagai berikut : ‘Bezit
adalah suatu keadaan lahir (=fakta), dimana seseorang menguasai sautu
benda seolah olah kepunyaannya sendiri, dengan tiidak mempersoalkan
siapa pemilik benda itu sebenarnya.
Lebih lanjut dalam Ps. 530 BWI disebutkan bahwa ada dua macam bezit, yaitu yang beriktikad baik ( te goede trouw) dan yang beriktikad tidak baik.(te kwader trouw).
Unsur bezit ada dua, yaitu :
- unsur keadaan dimana seseorang menguasai suatu benda (corpus) ;
- unsur kemauan orang tersebut untuk memilikinya (animus).
Karena pada umumnya orang yang
tidak waras tidak mempunyai unsur animus, maka bezitter (orang yang
mempunyai bezit) biasanya bukan orang gila / orang yang tidak waras
.Yang dapat mempunyai hak bezit adalah orang yang dewasa, sehat pikiran,
berkehendak bebas / tidak dibawah paksaan.
Pengertian bezit yang dengan
iktikad baik adalah penguasaan karena penguasaan atas benda tersebut
terjadi tanpa diiketahui cacat cela dalam benda tersebut (Ps.531 BWI).
Bezit harus dibedakan dengan detentie, yakni keadaan dimana seseorang
menguasai suatu benda berdasarkan suatu hubungan hukum tertentu dengan
pemilik yang sah dari benda tersebut, misalnya hubungan sewa menyewa,
tidak harus menimbulkan kemauan bagi si penyewa untuk memiliki. Pada
diri seorang detentor tersebut, dianggap bahwa kemauan untuk memiliki
benda yang dikuasai itu tidak ada. Menurut ketentuan Ps 538 BWI, “
Penguasaan atas suatu benda diperoleh dengan cara menempatkan benda itu
dalam kekuasaan dengan maksud mempertahankannya untuk diri sendiri”.
Ketentuan tersebut mengandung unsusr-unsur :
- Kata ‘Menempatkan’ berarti perbuatan aktif yang dapat dilakukan sendiri atau dilakukan oleh orang lain atas nama.
- Kata, ‘benda’ meliputi pengertian benda bergerak dan benda tidak bergerak; benda bergerak meliputi benda yang sudah ada pemiliknya , atau yang belum ada pemiliknya.
- Kata “dalam kekuasaan” menunjukkan keharusan adanya hubungan langsung antara orang yang menguasai dengan benda yang dikuasai.
- Kata “ mempertahankan untuk diri sendiri” menunjukkan unsur keharusan adanya animus, yaitu kehendak menguasai benda itu untuk memilikinya sendiri; setiap pemegang/penguasa benda itu dianggap mempertahankan penguasaannya selama benda itu tidak beralih ke tangan orang lain atau selama benda itu tidak nyata-nyata telah ditinggalkannya ( Ps. 542 BWI).
Cara memperoleh penguasaan (Bezit) dapat dibedakan :
1. Menguasai benda yang tidak ada pemiliknya
Penguasaan atas benda yang tidak ada pemiliknya disebut ‘penguasaan originair’, atau “bezit occupatio”. Memperoleh penguasaan cara ini tanpa bantuan orang lain, hanya tertuju pada benda bergerak yang tidak ada pemiliknya (res nullius), yang kemudian diakui dan dikuasai.
2. Menguasai benda yang sudah ada pemiliknya
Penguasaan atas benda
yang sudah ada pemilikya, mempunyai dua kemungkinan, yaitu dengan
bantuan orang lain yang menguasai lebih dahulu / pemiliknya dan tanpa
bantuan orang lain yang terkait. Penguasaan dengan bantuan orang yang
menguasai lebih dulu/pemiliknya disebut “pengusaan traditio” atau
“penguasaan derivatif”, yakni melalui penyerahan benda tersebut,
misalnya penguasaan atas hak gadai, hak pakai, hak sewa, hak memungut
hasil dsb. Memperoleh penguasaan tanpa bantuan orang yang menguasai
lebih dulu/pemiknya disebut “penguasaan tanpa levering”,
misalnya menguasai benda temuan di jalan, benda orang lain yang hilang.
Berdasarkan ketentuan Ps. 1977 ayat (1) BWI, penguasaan berlaku sebagai
alas hak yang sempurna. Dengan demikian orang yang menguasai benda itu
sama dengan pemiliknya.
Hak milik adalah
alas hak yang sempurna. Ketentuan tersebut di atas dibatasai oleh ayat
(2) nya, bahwa perlindungan hukum yang diberikan oelh ayat (1) itu tidak
berlaku bagi benda-benda yang hilang atau benda-benda curian. Terhadap
benda-benda ini, bezit sebagai hak yang sempurna tidak berlaku.
Barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu benda, dalam waktu tiga tahun
terhtung sejak hilang atau dicurinya bendanya, berhak meminta kembali
bendanya itu dari pemegangnya. Tetapi jika pemegang benda itu menguasai
benda tersebut karena memperolehnya atau membelinya dari pedagang yang
lazim memperdagangkan benda itu atau tempat pelelangan umum, pemilik
yang kehilangan benda / kecurian benda yang bersangkutan harus
mengem-balikan harga benda yang telah dibayar oleh pemegang itu (Ps. 582
BWI).
Penguasaan
“benda bergerak yang tidak berupa bunga, atau piutang yang tidak atas
tunjuk berlaku ketentuan siapa yang menguasainya dianggappemiliknya”
sebagai yang ditetapkan dalam Ps. 1977 ayat (1), tidak diatur dalam Buku
IIBWI tentang Benda karena ternyata pembentuk undang-undang menyatakan
bahwa Ps. 1977 BWI (Buku IV BWI) tersebut mengatur tentang kadaluarsa
yang membebaskan dari perikatan, artinya, siapa yang menguasai benda
bergerak seketika ia bebas dari tuntutan pemiliknya karena tenggang
waktu / daluarsa sudah lampau.
Penguasaan itu
sebagai alas hak yang sempurna, sama dengan hak milik, padahal
syarat-syarat sah levering (penyerahannya tidak dipenuhi). Dalam hal ini
ada dua teori yang menjawab soal ini, yaitu eigendomstheorie dan
legitimatietheorie.
- Eigendoms theorie
Teori ini dikemuakan
oleh Meijers, yang menafsirkan Ps. 1977 BWI secara gramatikal. Menurut
Mejers siapa yang menguasai benda bergerak secara jujur ia adalah
pemilik benda itu, tanpa memperhatikan apakah ada alas hak yang sah atau
tidak, apakah berasal dari orang yang berwenang mengauasai benda itu
atau tidak. Teori ini mengesampingkan Ps. 584 BWI mengenai syarat sahnya
suatu levering, yaitu harus ada alas hak yang sah dan harus dilakukan
oleh orang yang berwenang menguasai benda itu. Masalahnya adalah, pasal.
mana yang harus diikuti diantara dua pasal tersebut dan Mejers
berpendapat Ps. 1977 BWI yang diikuti, berarti mengabaikan dua syarat
sahnya levering, dan oleh karena itu pada masa sekarang teori Mejers ini
sudah ditinggalkan orang.
- Legitimatie theorie
Teori ini dikemukakan
oleh Paul Scholten : Pada umunya hak milik atas suatu barang hanya dapat
berpindah secara sah bila seseorang memperolehnya dari orang yang
berhak memindahkan hak milik atas barang tersebut yaitu pemiliknya. Akan
tetapi dapat dimengerti, bahwa kelancaran lalu lintas hukum akan sangat
terganggu, jilka dalam setiap jual belibarang bergerak si pembeli harus
menyelidiki terlebih dahulu apakan si penjual sungguh- sungguh
mempunyai hak milik atas barang yang dijualnya. Untuk kepentingan
kelancaan lalu lintas hukum itulah, Ps. 1977 BWI menetapkan mengenai
barang bergerak si penjual dianggap sudah cukup membuktikan hak miliknya
dengan mempertunjukkan bahwa ia menguasai barang itu seperti seorang
pemilik, yaitu bahwa menurut keadaan yang tampak barang itu seperti
kepunyaannya sendiri. Jadi ia tidak usah memperlihatkan cara bagaimana
ia memperoleh penguasaan atas benda tersebut, tak usah ia memperlihatkan
tanda bukti tentang hak miliknya dan pembeli yang percaya atas adanya
bezit di pihak penjual tersebut akan dilindungi oleh undang-undang. Jika
kemudian ternyata si penjual bukan pemilik tetapi misalnya hanya
meminjam barang itu dari pemilik, maka barang itu akan menjadi milik si
pembeli (pembeli yang beritikad baik). Bezit bukan sebagai hak milik,
jadi siapa yang secara jujur menguasai benda tak bergerak ia dilindungi
oleh undang-undang. Jika dihubungkan dengan Ps. 584 BWI tentang syarat-
syaratnya sahnya levering, teori Paul Scholten ini mengabaikan satu
syarat levering, yaitu “ tidak perlu berasal dari orang yang
berwenang menguasai benda itu”, melainkan cukup dengan anggapan saja
bahwa benda itu memang berasal dari yang berwenang menguasainya, demi
kelancaran lalu lintas hukum. Tujuan teori ini adalah melindungi pihak
ketiga yang jujur, tetapi agar tidak terlalu luas penafsirannya, maka
dikatakan bahwa perindungan hukum yang dimaksud dalam Ps. 1977 BWI hanya
berlaku terhadap perbuatan-perbuatan dalam perdagangan. Jadi, seseorang
yang bagaimanapun jujurnya menerima suatu benda sebagai hadiah, tidak
dilindungi oleh hukum, karena bisa saja benda itu beasal dari benda
curian, sedangkan kasus pemberian hadiah tidak termasuk sebagai
perbuatan perdagangan. Pembatasan yang diajarkan oleh Paul Scholten ini
disebut “rechtsvefijning” (penghalusan hukum).
Pengertian hak
milik disebutkan dalam Ps. 570 BWI yang menyatakan bahwa hak milik
adalah hak untuk menikmati sepenuhnya kegunaan suatu benda dan untuk
berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu asal tidak bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu
kekuasaan yang berwenang yang menetapkannya dan tidak menimbulkan
gangguan terhadap hak-hak orang lain, dengan tidak mengurangi
kemungkinan pencabutan hak itu demi kepeningan umum berdasarkan
ketentuan perundangan dengan pembayaran ganti rugi. Berdasarkan
ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa eigendom adalah hak yang
paling sempurna atas suatu benda. Memang dahulu hak eigendom dipandang
benar-benar mutlak, dalam arti tidak terbatas, namun pada masa
akhir-akhir ini mincul pengertian tentang asas kemasyarakatan (sociale
functie ) dari hak tersebut. Hal tersebut tercermin dalam UUPA kita yang
menonjolkan asas kemasyarakatan tesebut dengan menyatakan bahwa semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini berarti bahwa kita sudah
tidak dapat berbuat sewenang-wenang atau sebebas-bebasnya dengan hak
milik kita sendiri. Bahkan pada masa kini suatu perbuatan yang pada
hakekatnya berupa suatu pelaksanaan hak milik dapat dipandang sebagai
bertentangan dengan hukum, jika perbuatan itu dilakukan dengan tidak
menyangkut kepentingan yang patut, atau dengan maksud semata-mata untuk
mengganggu kepentingan orang lain (“misbruikvanrecht”). Sebagai hak kebendaan yang sempurna, hak milik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
- Merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain.
- Ditinjau dari segi kualitasnya, merupakan hak yang paling lengkap.
- Bersifat tetap, artinya tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.
- Mengandung inti dari hak kebendaan yang lain, sedangkan hak kebendaan yang lain hanya meupakan bagian saja dari hak milik.
Setiap orang yang mempunyai hak milik
atas sesuatu benda, berhak meminta kembali benda miliknya itu dari
siapapun juga yang menguasainya (Ps. 574 BWI). Permintaan kembali yang
didasarkan atas hak milik dinamakan revindicatie; di dalam sidang
pengadilan baik sebelum maupun pada saat perkara belangsung, pemilik
dapat mengajukan permohonan agar benda yang diminta kembali itu disita
terlebih dahulu ( revindicatoir beslag), yaitu penyitaan yang dilakukan
terhadap benda-benda bergerak milik pemohon yang berada dibawah
kekuasaan orang lain dengan tidak perlu mengemukakan atau menguraikan
bagaimana cara memperolehnya hak milik itu. Cara memperoleh hak milik
datur dalam Ps. 584 BWI, yang megatur hanya secara limitatif saja :
1. Melalui pengambilan (toegening atau occupatio)
Cara memperoleh hak milik dengan mengambil benda-benda bergerak yang sebelumnya tidak ada pemiliknya
2. Melalui penarikan oleh benda lain (natrekking atau accecio)
Cara memperoleh hak milik di mana benda pokok yang telah dimiliki secara alamiah bertambah besar atau bertambah jumlahnya.
3. Melalui daluwarsa (verjaring).
Cara memperoleh hak
milik karena lampaunya waktu 20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah
atau 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak (Ps. 610 BWI). Kadaluarsa
yang dimaksud disini adalah acquisiteve verjaring, yakni suatu cara
untuk memperoleh hak kebendaan setelah lampau waktu tertentu, disisi
lain tedapat extinctieve verjaring yaitu suatu cara untuk dibebaskan
dari suatu hutang setelah terlampauinya waktu tertentu.
4. Melalui perwarisan (erfopvolging)
Cara memperoleh hak
milik bagi para ahli waris yang ditinggalkan pewaris. Disini para ahli
waris memperoleh hak milik menurut hukum tanpa harus ada tindakan
penerimaan benda secara fisik. Ahli waris bisa berupa ahli waris menurut
undang-undang (ab intestato) maupun menurut wasiat (testament)
5. Melalui penyerahan (levering atau overdracht).
Cara memperoleh hak
milik karena adanya pemindahan hak milik seseoarang yang berhak
memindahkannya kepada orang lain yang memperoleh hak milik itu. Cara ini
merupakan cara yang paling banyak dilakukan dalam kehidupan masyarakat
sekarang. Perkataan levering mempunyai dua arti. Yang pertama berarti
perbuatan berupa penyerahan kekuasaan belaka atas suatu benda (feicelijke levering); pengertian kedua berarti perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (yuridische levering).
Penyerahan hak milik atas benda bergerak cukup dilakukan dengan
penyerahan kekuasaan belaka atas benda itu, sedangkan penyerahan hak
milik atas benda tak bergerak harus dibuatkan suatu surat penyerahan
yang harus dituliskan dalam daftar hak milik.Mengenai levering dari
benda bergerak yang tidak berwujud dapat dibedakan atas :
- Levering dari surat piutang atas tunjuk (aan tonder), berdasarkan Ps. 613 ayat (3) BWI dilakukan dengan penyerahan surat yang bersangkutan.
- Levering dari surat piutang atas nama (op naam), berdasarkan Ps. 613 ayat (1) BWI dilakukan dengan cara membuat akte otentik atau akte di bawahtangan (cessie). Ini berarti pergantian kedudukan berpiutang dari kredirur lama (cedent) kepada kreditur baru (cessionaris), sedangkan debiturnya dinamakan cessus. Jadi hak berpiutang dianggap telah beralih dari cedent kepada cessionaris pada saat akte cessie dibuat, bukan pada waktu akte cessie diberitahukan kepada cessus.
- Levering dari piutang atas perintah (aan order) yang berdasarkan Ps. 613 ayat (3) BWI harus dilakukan dengan surat piutang tersebut disertai dengan endosemen, yaitu menulis dibalik surat piutang yang menyatakan kepada siapa piutang tersebut dialihkan. Cara memperoleh hak milik yang tidak disebutkan dalam Ps. 584 BWI :
a. Pembentukan benda
(zaaksvorming), yaitu dengan cara membentuk atau menjadikan benda yang
sudah ada menjadi benda yang baru. Misalnya, kayu diukir menjadi patung,
benang ditenun menjadi kain dlsb. Orang yang menjadikan atau membentuk
benda baru tersebut menjadi pemiliknya (Ps. 606 BWI).
b. Penarikan hasilnya (vruchttrekking),
yaitu benda yang merupakan hasil/buah dari benda pokok yang
dikuasainya, misalnya buah pisang dari pohon pisang, anak sapi dari sapi
yang dikuasainya (Ps. 575 BWI).
c. Percampuran atau persatuan benda (vereniging),
yaitu perolehan hak milik karena bercampurnya beberapa macam benda
kepunyaan beberapa orang. Jika bercampurnya benda itu karena kebetulan,
maka benda itu menjadi milik bersama orang-orang tersebut, seimbang
dengan harga benda mereka semula. Jika bercampurnya benda itu karena
perbuatan seseorang pemilik benda, maka dialah menjadi peimilik dari
benda baru tersebut dengan kewajiban membayar ongkos-ongkos, ganti rugi
dan bunganya kepada para pemilik lain dari benda-benda semula (Ps.
607-609 BWI).
d. Pencabutan hak
(onteigening),, yaitu cara memperoleh hak milik bagi penguasa dengan
jalan pencabutan hak milik atas suatu benda kepunyaan satu atau beberapa
orang. Untuk melakukan hal ini penguasa harus mendasarkan tindakannya
pada undang-undang dan harus untuk tujuan kepentiangan umum dengan
disertai pemberian ganti rugi yang layak kepada (para) pemiliknya.
e. Perampasan
(verbeurdverklaring), yaitu cara memperoleh hak milik dari penguasa
dengan jalan merampas hak milik atas suatu benda kepunyaan terpidana
yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana.
f. Pembubaran suatu
badan hukum, yaitu dengan pembubaran badan hukum maka para anggota badan
hukum dapat memperoleh bagian dari harta kekayaan badan hukum tersebut
(Ps. 1665 BWI).
Pasal 573 BW mengatur tentang
adanya suatu benda yang dipunyai oleh lebih satu orang, sehingga terjadi
hak milik bersama (medeeigendom) atas suatu benda, di mana dinyatakan
bahwa membagi suatu benda menjadi milik lebih dari satu orang, harus
dilakukan menurut aturan-aturan yang ditetapkan tentang “pemisahan” dan
“pembagian” harta peninggalan. Sedangkan aturan-aturan tentang pemisahan
dan pembagian harta peninggalan diatur dalam Buku II Ps. 1066-1125 BWI.
Milik bersama dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu hak milik bersama yang bebas (vrije
medeeigendom) dan hak milik bersama yang teriikat (gebonden
medeeigendom). Contoh hak milik bersama yang bebas adalah a, b, dan c
bersama-sama membeli sebuah komputer. Contoh hak milik bersama yang
terikat adalah hak milik bersama suami istri terhadap harta perkawinan,
terhadap harta peninggalan, terhadap harta kekayaan suatu badan hukum.
Inti perbedaannya adalah hak milik bersama yang bebas tidak mempunyai
hubungan apa-apa sebelum mereka bersama menjadi pemilik ssesuatu barang;
sedangkan dalam hak milik bersama yang terikat pemilikan bersama atas
suatu benda itu justru sebagai akibat dari hubungan mereka satu sama
lain yang telah ada sebelumnya. Perbedaan yang lain adalah bahwa di
dalam hak milik bersama yang bebas terdapat kehendak bersama dari
beberapa orang untuk memiliki suatu benda; sedangkan di dalam hak milik
bersama yang terikat, kehendak untuk bersama sama menjadi pemilik hampir
tidak ada, yang semata-mata ada diantara mereka adalah karena hubungan
hukum yang telah ada sebelumnya. Secara umum para ahli hukum mengatakan
perbedaan antara hak milik bersama yang bebas dengan hak milik bersama
yang terikat sebagai berikut :
- Para pemilik dalam hak milik bersama yang bebas dapat meminta pemisahan dan pembagian atas benda yang merupakan milik bersama, sedangkan para pemilik di dalam hak milik bersama yang terikat tidak dapat meminta pemisahan dan pembagian terhadap benda milik bersama itu. Dalam hal ini terdapat keberatan / sanggahan dari para ahli hukum yang lain oleh karena mengenai “harta peninggalan”, para ahli waris dapat meminta pemisahan dan pembagian harta peninggalan tersebut.
- Di dalam hak milik bersama yang bebas, masing-masing orang mempunyai bagian yang merupakan harta kekayaan yang berdiri sendiri, sehingga masing- masing berwenang untuk menguasai atau berbuat apa saja terhadap benda tersebut tanpa memerlukan izin dari pemilik yang lain; sedangkan di dalam hak milik bersama yang terikat, hal yang demikian tidak mungkin sebab harus mendapat izin dari pemilik-pemilik yang lain.
- Di dalam hak milik bersama yang bebas, tiap-tiap pemilik mempunyai bagian atas benda milik bersama itu; sedangkan dalam hak milik bersama yang terikat tiap-tiap pemilik berhak atas seluruh bendanya.
Sebab-sebab yang mengakibatkan hapusnya hak milik adalah :
- Karena ada orang lain yang memperoleh hak milik atas suatu benda yang sebelumnya menjadi hak milik seseorang, dengan salah satu cara untuk memperoleh hak milik seperti telah diuraikan di atas.
- Karena musnahnya benda yang dimiliki.
- Karena pemilik melepaskan benda yang dimilikinya dengan maksud untuk melepaskan hak miliknya.
Hak memungut
hasil adalah hak untuk memungut hasil dari benda orang lain, seolah-olah
benda itu miliknya sendiri, dengan kewajiban bahwa dirinya harus
menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula (Ps. 756 BWI).
Kewajiban dari pemegang hak memungut hasil diatur di dalam Ps. 782-806 BWI:
1. Kewajiban pada permulaan adanya hak memungut hasil :- Membuat pencatatan (inventarisasi) terhadap benda-bendanya
- Mengadakan jaminan-jaminan yang diperlukan (asuransi dlsb) terhadap benda-benda yang bersangkutan
- Mengadakan perbaikan terhadap benda-benda
- Menanggung biaya perbaikan dan pajak yang harus dibayar dalam pengelolaan benda-benda itu.
- Memelihara benda itu dengan sebaik-baiknya.
- Mengembalikan semua benda seperti dalam keadaan semula
- Mengganti segala kerusakan / kerugian yang timbul atas benda-benda itu
D. Hak Pakai dan Hak Mendiami
Di dalam BW hak
pakai dan hak mendiami ini diatur dalam Buku II Ps. 818-829 BWI, akan
tetapi tidak ada satu pasalpun yang memberikan definisi / pengertian
tentang kedua hak tersebut. Di dalam Ps. 818 BWI hanya disebutkan bahwa
hak pakai dan hak mendiami itu merupakan hak kebendaan yang terjadinya
dan hapusnya sama seperti hak memungut hasil.Hak pakai sebetulnya sama
dengan hak mendiami, namun apabila hak ini menyangkut rumah kediaman
maka dinamakan hak mendiami. Bilamana obyek hak pakai adalah binatang,
maka pemilik hak pakai berhak untuk mempekerjakannya, memakai air
susunya dan rabuknya, sekedar dibutuhkan untuk diri sendiri dan anggota
keluarganya, akan tetapi tidak boleh menikmati hak pakai / hak milik
(Ps. 824 BWI) terhadap anak binatang yang bersangkutan.
Dalam Ps. 826 BWI ditentukan bahwa
barangsiapa mempunyai hak mendiami atas sebuah rumah, maka ia boleh
mendiami rumah itu sejak ia masih bujangan hingga ia mempunyai keluarga /
keturunan yang diam di rumah tersebut.
Erfdienstbaarheid
adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk
keperluan pekarangan lain yang berbatasan. Misalnya pemilik dari
pekarangan A harus mengizinkan orang-orang ang tinggal di pekarangan B
setiap waktu melalui pekarangan A atau air yang dibuang pekarangan B
harus dialirkan melalui pekarangan A. Oleh karena erfdienstbaarheid itu
suatu hak kebendaan, maka haknya tetap melekat pada pekarangan yang
bersangkutan walaupun pekarangan tersebut dijual kepada orang lain.
Hak postal yaitu suatu hak untuk
mendirikan dan menguasai bangunan atau tanaman di atas tanah milik orang
lain (Ps. 711 BWI).
Hak Erfpacht yaitu suatu hak kebendaan
untuk memungut hasil seluas-luasnya dalam jangka waktu yang lama atas
bidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang
atau penghasilan tiap-tiap tahun (Ps. 720 BWI). Semua hak pemilik tanah
dijalankan oleh orang yang memegang hak erfpacht, sedangkan bukti
pengakuan terhadap hak pemilik tanah berupa pembayaran sejumlah uang
atau penghasilan tiap-tiap tahun (pacht atau canon) tersebut. (Hak ini
dahulu banyak dipergunakan untuk perusahaan perkebunan yang besar atau
pembukaan tanah yang masih belukar sehingga diberikan untuk jangka waktu
yang cukup lama, biasanya selama 75 tahun).
HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT
MEMBERI JAMINAN
Hak kebendaan yang bersifat
memberi jaminan selalu bertumpu atas benda orang lain, baik benda
bergerak maupun benda tak bergerak. Jika benda yang menjadi obyek
jaminan adalah benda bergerak maka disebut hak gadai (pandrecht),
sedangkan benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda tidak bergerak
maka hak kebendaannya adalah hipotik. Kreditur yang mempunyai hak gadai
dan atau hipotik mempunyai kedudukan preferens yaitu hak untuk
didahulukan dalam pemenuhan hutangnya dari kreditur-kreditur yang
lainnya (Ps. 1133 BWI).
Gadai adalah
suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak yang
diberikan debitur kepadanya sebagai jaminan pelunasan pembayaran dan
memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pembayaran lebih dahulu
dari kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda tersebut (Ps.
1150 BWI). Pengertian gadai di atas membuktikan bahwa hak gadai adalah
tambahan atau buntut dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian
pinjam meminjam uang, dengan tujuan agar kreditur jangan sampai
dirugikan apabila debitur lalai membayar kembali uang pinjaman berikut
bunganya.Jadi tidak mungkin timbul adanya hak gadai tanpa ada perjanjian
pokok berupa perjanjian hutang piutang. Dalam hukum Romawi terdapat
semacam hak gadai yang dinamakan fidutia, yaitu suatu pemindahan hak
milik dengan perjanjian bahwa benda akan dikembalikan apabila si
berhutang sudah membayar lunas hutang dan bunganya. Selama hutang belum
dibayar kreditur menjadi pemilik benda yang dijaminkan itu. Sebagai
pemilik, ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu kepada
debitur sehingga orang yang berhutang ini tetap menguasai bendanya. Hak
gadai senantiasa melekat meskipun hak milik atas benda itu jatuh ke
tangan orang lain seperti ahli warisnya. Pemegang hak gadai yang
kehilangan benda gadai itu, berhak meminta kembali benda itu dari tangan
siapapun benda tersebut berada selama 3 (tiga) tahun (Ps. 1152 ayat (3)
jo Ps. 1977 ayat (2) BWI). Hak untuk meminta kembali ini berdasarkan
Ps. 1977 ayat (2) BWI diberikan kepada pemilik benda bergerak, sehingga
Ps. 1152 ayat (3) BWI dapat diartikan bahwa hak gadai dipersamakan
dengan hak milik. Unsur terpentiing dari hak gadai adalah benda yang
dijaminkan harus berada dalam kekuasaan pemegang gadai. Namun penguasaan
tersebut bukan untuk menikmati, memakai dan memungut hasil, melainkan
hanya untuk menjadi jaminan pembayaran hutang si debitur (pemberi
gadai).
1. Obyek hak gadai.
Obyek hak gadai berupa benda bergerak, baik benda bergerak yang berwujud (lichamelijkezaken) maupun benda bergerak yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken) berupa hak untuk mendapatkan pembayaran uang dalam bentuk surat-surat berharga.
2. Apabila surat berharga yang digadaikan
berupa surat berharga atas bawa / atas tunjuk / aan toonder (pembayaran
uang dilakukan kepada siapa saja yang membawa/ memegang surat itu),
maka cara menggadaikannya adalah dengan cara menyerahkan begitu saja
surat berharga tersebut kepada pemegang gadai.
3. Apabila surat berharga yang digadaikan
berupa atas perintah / aan order (pembayaran uang dilakukan kepada
orang yang disebut dalam surat berharga yang bersangkutan), maka dalam
cara menggadaikan surat berharga tersebut diperlukan adanya endosemen
(Ps. 1152 BWI dst) dan kemudian surat berharga itu harus diserahkan
kepada pemegang gadai.
4. Apabila surat berharga yang digadaikan
berupa surat berharga atas nama / op naam (pembayaran dilakukan kepada
orang yang namanya disebut di dalam surat berharga itu), maka cara
menggadaikannya harus diberitahukan terlebih dahulu kepada orang yang
berwajib membayar uang dan orang yang wajib membayar ini dapat menuntut
supaya ada bukti tertulis izin pemberi gadai. Sebagai konsekuensi bahwa
penguasaan pemegang hak gadai bukan untuk menikmati, memakai atau
memungut hasil, maka kalau yang digadaikan adalah surat-surat berharga
yang memberikan berbagai hak, seperti bunga, Ps. 1158 BWI menentukan
bahwa pemegang gadai dapat memungut bunga itu tetapi bunga itu harus
diperhitungkan dengan hutang maupun bunga yang haruis dibayar oleh
pemberi gadai.
Subyek hak gadai
Subyek hak gadai adalah pemberi
dan penerima hak gadai, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang pada
umumnya cakap dan mampu melakukan perbuatan hokum mengasingkan
(menjual, menukar, dll) benda itu. Ps. 1152 ayat (4) BWI menentukan
bahwa kalau ternyata debitur tidak berhak untuk mengasingkan (menjual,
menukar, menghibahkan dlsb) benda itu, gadai tidak dapat dibatalkan
sepanjang penerima gadai (kreditur) betul-betul beranggapan bahwa
pemberi gadai berhak untuk membebankan benda yang bersangkutan dengan
hak gadai. Kalau penerima gadai mengetahui atau seharusnya dapat
menyangka bahwa pemberi gadai tidak berhak mengasingkan obyek gadai,
maka penerima gadai tidak mendapat perlindungan hukum dan hak gadai
harus dibatalkan. Timbulnya hak gadai didasarkan atas perjanjian
mengadakan gadai, baik yang dibuat secara tertulis (otentik atau di
bawah tangan) atau dibuat secara lisan. Akan tetapi dengan perjanjian
gadai saja, tidak berarti hak gadai telah terbentuk dengan sendirinya,
melainkan masih harus disertai dengan penyerahan benda yang digadaikan.
Jika barang-barang yang akan digadaikan merupakan barang-barang yang
sehari-hari dipergunakan untuk berusaha maka akan timbul kesulitan
apabila benda itu diserahkan sebagai benda gadai karena ia tidak akan
memperoleh penghasilan untuk melunasi hutang-hutangnya itu. Jalan keluar
yang ditempuh untuk mengatasi kesulitan terbut di atas adalah dengan
mempergunakan suatu lembaga jaminan yang dinamakan fiduciare eigendoms
overdracht (fidutia) yang disingkat menjadi FEO.
Hak-hak pegang gadai (kreditur) :
- Menahan benda yang digadaikan selama hutang pokok , bunga dan biaya lainnya belum dilunasi oleh debiur.
- Mendapat pembayaran atas piutangnya dari hasil penjualan benda yang digadaikan. Penjualan benda gadai dapat dilakukan sendiri oleh pemegang gadai atau melalui pengadilan.
- Meminta ganti seluruh biaya yang timbul yang telah menjadi beban dirinya dalam memelihara benda gadai.
- Menggadaikan kembali benda gadai, dalam hal kasus seperti telah menjadi kebiasaan, seperti menggandaikan saham-saham perseroan atau obligasi.
- Mempunyai hak untuk didahulukan (preferensi) dalam menerima pembayaran atas piutangnya terhadap piutang-piutang lainnya.
Kewajiban pemegang gadai
Kewajiban pemegang gadai adalah :
- Bertanggung jawab atas hilangnya atau berkurangnya nilai barang yang digadaikan yang disebabkan oleh karena kelalaiannya.
- Wajib memberitahukan kepada pemberi gadai jika ia bermaksud untuk menjual barang gadai.
- Memberikan perhitungan tentang perincian hasil penjualan benda gadai dan setelah mengambil sebagian untuk pelunasan piutangnya, harus menyerahkan kelebihannya kepada pemberi gadai.
- Harus mengembalikan benda gadai bilamana hutang pokok, bunga dan biaya pemeliharaan benda gadai telah dilunasi oleh debitur.
- Hapusnya gadai
Gadai menjadi hapus karena :
- Karena hapusnya perjanjian hutang piutang (perjanjian pokoknya)
- Karena penyalahgunaan wewenang pemegang gadai sehingga diperintah-kan untuk mengembalikan benda gadai.
- Karena benda gadai dikembalikan atas kemauan sendiri oleh pemegang gadai kepada pemberi gadai (dalam hal hutang dianggap telah dihapuskan).
- Karena pemegang gadai oleh sesuatu sebab menjadi pemilik benda yang digadaikan.
- Karena dieksekusi oleh pemegang gadai.
- Karena lenyapnya / hilangnya benda gadai
Didalam gadai dikenal lembaga yang
disebut parate executie, yaitu orang yang berhutang (pemberi gadai)
sejak semula telah memberikan persetujuan bahwa jika dirinya lalai dalam
memenuhi kewajibannya kepada kreditur (pemegang gadai), barang jaminan
yang diserahkannya itu boleh dijual oleh pemegang gadai untuk pelunasan
hutangnya tanpa harus melalui pengadilan.
B. Hipotik
Tentang hipotik
ini sepanjang yang diatur dalam BWI, terletak di dalam Buku II titel XXI
Ps. 1162 – 1232. Namun sebagaimana telah dikemukakan dengan berlakunya
UUPA maka ketentuan di dalam Buku II BWI, sepanjang mengenai bumi, air
serta kekayaan yang terkandung di dalamnya dinyatakan tidak berlaku
lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik. Secara garis besar
dapat dikatakan, sepanjang ketentuan dalam Buku II tesebut mengatur
tentang hak dan kewajiban pemberi dan pemegang hipotik, azas-azas
hipotik, maka ketentuan-ketentuan itu masih berlaku. Sedangkan ketentuan
yang mengatur tentang cara pembebanan hipotik, cara pendaftaran
hipotik, cara peralihan hupotik dan obyek serta subyek hipotik
diberlakukan ketentuan yang terdapat di dalam UUPA serta
peraturan-peraturan pelaksanaannya :
- Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah;
- Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah;
- Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hipotik dan Credietverband;
- Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria Nomor 67/DDA/1968 tentang Bentuk Buku Tanah dan Sertifikat Hipotk dan credietverband;
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1978 tentang Biaya Pendaftaran Tanah.
Menurut Ps. 1162 BWI yang
dimaksud dengan hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak
bergerak (kepunyaan orang lain), untuk mengambil penggantian daripadanya
bagi pelunasan suatu perikatan. Seperti halnya tujuan gadai, pengertian
di atas menunjukkan bahwa tujuan hipotik adalah juga untuk memberi
jaminan kepada kreditur tentang kepastian pembayaran pelunasan atas uang
yang dipinjam debitur sedemikian rupa, bahwa apabila debitur
wanprestasi maka benda-benda yang dibebani hipotik dapat dijual /
dilelang dan pendapatan penjualan tersebut dipergunakan untuk membayar
hutang yang dijamin dengan hipotik, kecuali ditetapkan lain oleh
undang-undang. Dengan demikian perjanjian hipotik merupakan perjanjian
tambahan (accessoir) dari suatu perjanjian hutang piutang sebagai
perjanjian pokoknya. Selanjutnya di dalam Ps. 1163 ayat (2) BWI
diterangkan bahwa karena hipotik tetap melekat pada bendanya, maka
meskipun benda itu kemudian dimiliki oleh orang lain hipotik tetap
melekat atas benda itu (jual beli tidak menggugurkan hipotik).
Beberapa sifat yang terdapat dalam hipotik adalah :
- Sifat Konvensional, artinya perjanjian pembebanan hipotik harus secara tegas menyatakan hal itu dan dibuat dengan akta otentik;
- Sifat tidak dapat dibagi (ondeelbaarheid), artinya bahwa hipotik itu tetap berlangsung walaupun sebagian dari hutang telah dibayar;
- Sifat tetap melekat pada bendanya (zaaksgevolg), meskipun benda yang dibebani hipotik berpindah tangan, hipotik tetap melekat pada benda itu;
- Sifat mudah dieksekusi, artinya benda yang dibebani hipotik dapat dijual sendiri oleh kreditur atau dengan perantaraan hakim, tidak perlu bantuan tenaga penjualan khusus;
- Sifat didahulukan (droit de preference), artinya pelunasan hipotik lebih didahulukan daripada piutang-piutang lainnya, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang;
- Sifat accessoir, artinya sebagai pelengkap dari perjanjain pokok yaitu hutang piutang;
- Bersifat sebagai jaminan, yaitu untuk menjamin pelunasan suatu hutang saja dan tidak memberi hak untuk menguasai dan memiliki benda jaminan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa yang merupakan azas-azas hipotik adalah :
- Terbuka untuk umum (ovenbaarheid), yaitu bahwa hipotik didasarkan dalam suatu daftar umum supaya dapat diketahui oleh pihak ketiga. Azas ini dikenal pula dengan nama azas publisitas;
- Azas spesifikasi (specialiteit), artinya bahwa hipotik hanya dapat dibeban-kan atas benda-benda yang ditunjuk secara khusus, berupa apa, berapa luas, berapa besar, jumlah, ukuran, di mana letaknya / batas-batasnya dlsb. Hipotik atas benda tak bergerak yang telah ditentukan secara khusus sebagai unit kesatuan misalnya sebuah rumah, tidak dapat hanya dibebankan atas paviliun rumah tersebut atau hanya atas satu atau dua kamar di dalam rumah tersebut.
Berdasarkan ketentuan Ps. 1164 BWI, benda
yang dapat dibebani hipotik / obyek hipotik adalah benda-benda tak
bergerak yang dapat dipindah tangankan. Setelah berlakunya UUPA Nomor 5
Tahun 1960 berikut peraturan pelaksanaannya, maka benda tak bergerak
yang dapat dibebani hipotik adalah hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha (baik yang berasal dari konversi hak tanah barat, seperti hak
eigendom / hak opstal / hak erfpacht maupun hak tanah adat), dengan
syarat hak-hak tersebut telah didaftarkan dalam Daftar Buku Tanah.
Dengan demikian maka hak atas tanah lainnya yang disebutkan di dalam
UUPA yang walaupun harus didaftar dalam Daftar Buku Tanah, tetap tidak
dapat dibebani hipotik atau credietverband.
a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
b.Hak opstal (Ps. 711 – 719 BWI) dan hak erfpacht (Ps. 720 – 736 BWI);
c. Bunga tanah (Ps. 737 – 739 BWI);
d. Bunga sepersepuluh (Ps. 740 – 755 BWI);
e. Pasar yang diakui pemerintah berikut hak-hak istimewa yang melekat padanya.
Yang dimaksud dengan subyek hipotik
adalah para pihak yang mengadakan perjanjian hipotik yaitu pihak pemberi
hipotik dan pihak penerima hipotik. Orang yang dapat membeli hipotik
atau dalam hal ini berarti yang berhak menghipotikkan suatu benda
haruslah orang yang berhak mengasingkan benda itu. Orang dilarang
membebani hipotik suatu benda yang tidak atau belum dapat diasingkannya;
namun orang boleh membebani hipotik suatu benda miliknya untuk menjamin
pembayaran hutang orang lain. Di dalam UUPA telah ditentukan siapa saja
yang dapat mempunyai hak atas tanah (hak milik, hak guna usaha dan hak
guna bangunan) yang dapat dibebani hak tanggungan. Yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah adalah:
- Warga negara Indonesia;
- Badan-badan hukum yang ditetapkan pemerintah :
- Bank-bank milik Negara
- Perkumpulan koperasi pertanian
- Badan-badan keagamaan yang ditunjuk Menteri dalam Negeri setelah mendengar Menteri Agama
- Badan-badan sosial yang ditunjuk Menteri Dalam Negeri.
Yang dapat mempunyai hak guna usaha atas tanah adalah :
- Warga Negara Indonesia;
- Badan hukum Indonesia
Yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah :
- Warga Negara Indonesia;
- Badan hukum Indonesia
Dalam UUPA tidak ditentukan siapa-siapa
yang dapat menjadi pihak penerima hipotik ataupun syarat-syarat tertentu
untuk menjadi pihak penerima hipotik. Oleh karena itu tidak
dipersoalkan apakah kreditur (penerima hipotik) itu perorangan atau
badan hukum, WNI atau orang asing, apakah badan hukum Indonesia atau
badan hukum asing, apakah berdomisili di Indonesia atau berkedudukan di
luar negeri, semua dianggap memenuhi syarat prosedur pembebanan hipotik
- Pembuatan hipotik dilakukan oleh kreditur dan debitur dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Ps. 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961);
- Sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Agraria 67/DDA/1968, maka kepala akta hipotik berbunyi “ Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti grosse (salinan pertama) akta hipotik ini mempunyai kekauatan eksekutorial seperti keputusan pengadilan yang telah memeproleh kekuatan hukum yang tetap;
- Akta pemberian hipotik dibuat dalam dua rangkap, masing-masing rangkap ditandatanagani oleh debitur dan kreditur, para saksi dan PPAT. Satu lembar akta itu disimpan PPAT dan satu lembar lainnya beserta sertifikat hak atas tanah berikut surat-surat lain yang diperlukan disampaikan oleh PPAT (atau kreditur) kepada Kantor Pendaftaran Tanah untuk diidaftarkan dalam Buku Tanah ;
- Pendaftaran yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pendafataran Tanah meliputi :
- Memuat Buku Tanah (yang baru) untuk hipotik yang bersangkutan;
- Membuat sertifikat hipotik yang terdiri dari salinan Buku Tanah tersebut dan salinan akta pemberian hipotik;
- Mencatat adanya hipotik pada Buku Tanah serta sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya.
Setelah itu Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah menyerahkan sertifikat hipotik kepada penerima
hipotik (kreditur) dan menyerahkan sertifikat hak atas tanah kepada
pemberi hipotik (debitur); namun dalam praktek umumnya yang terjadi
sertifikat hak atas tanah tetap disimpan oleh kreditur sampai piutangnya
dilunasi. Mengenai kapan mulai berlakunya hipotik ada sementara pihak
yang berpendapat bahwa pembebanan hipotik telah mulai berlaku sah sejak
dibuatkan akta otentik oleh PPAT, namun ada pihak lainnya menekankan
azas publisitas, sehingga berpendapat bahwa setelah terdaftar di Kantor
Pendaftaran Tanah maka hipotik baru mempunyai kekuatan mengikat, karena
telah bersifat terbuka untuk diketahui secara umum.
Kuasa memasang hipotik :
- Di dalam praktek perkreditan dewasa ini tidak semua jaminan yang dipegang kreditur (khususnya dalam hal ini bank) berupa hipotik, karena suatu proses hipotik termasuk di dalamnya proses sertifikasi hak atas tanah, tentunya memerlukan jangka waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit. Khusus untuk penyaluran kredit kepada pengusaha kecil dan golongan ekonomi lemah, pembebanan hipotik dirasakan terlalu berat, karena kebanyakan hak atas tanah mereka belum memperoleh sertifikat hak atas tanah, sedangkan mereka sudah memerlukan bantuan berupa kredit baik untuk investasi maupun untuk modal kerja mereka. Dalam hal ini sebagai jalan keluar maka kreditur menerima “kuasa memasang hipotik” berikut kuasa untuk mengurus sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Dengan demikian maka keditur / bank dapat menyelesaikan proses sertifikasi hak atas tanah tersebut, dan pemasangan hipotik baru dilakukan jika benar-benar diperlukan, misalnya jika sudah ada tanda-tanda bahwa debitur lalai memenuhi kewajibannya. Dalam prakteknya bank selalu meguasai sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan, selain untuk kemungkinan pemasangan hipotik seperti diuraikan di atas, juga untuk menjaga jangan sampai terjadi penyalah gunaan debitur, misalnya hak tersebut dijadikan sebagai jaminan hutang yang lain atau dipindah tangankan, tanpa sepengetahuan bank / kreditur.
- Berdasarkan Ps. 1171 ayat (2) BWI, surat kuasa memasang hipotik harus dibuat dalam bentuk akta otentik (akta notaris), bukan akta PPAT;
- Surat kuasa memasang hipotik mempunyai sifat tidak dapat dicabut / ditark kembali oleh debitur. Kalau sifat ini tidak melekat pada surat kuasa tersebut maka kreditur / bank pada saat yang diperlukan bisa jadi tidak dapat melakukan pembebanan hipotik dimaksud.
Sifat tidak dapat dicabut ini secara
yuridis sebenarnya bertentangan dengan prinsip umum tentang pemberian
kuasa sebagaimana yang diatur di dalam Ps. 1813 BWI yang antara lain
menyatakan bahwa pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali
kuasa tersebut oleh pemberi kuasa.
Hipotik untuk jaminan hutang yang akan ada
Di dalam Ps. 1176 ayat (1) BWI dengan
tegas ditentukan bahwa “suatu hipotik hanyalah sah, sekedar jumlah uang
untuk mana ia telah diberikan, adalah (jumlah ter)tentu dan ditetapkan
di dalam akta”. Dalam kenyataannya yurisprudensi membolehkan hipotik
untuk jaminan hutang, yang pada saat pembebanan hipotik tersebut
dilakukan belum seluruh hutang diserahkan kreditur kepada debitur,
sehingga jumlah hutang debitur yang aktual pada saat pembebanan hipotik
lebih kecil dari jumlah formal yang tercantum di dalam akta. Dalam
prakteknya hipotik semacam ini lazim dilakukan di mana debitur mengambil
pinjamannya hanya sebagian demi sebagian sesuai dengan kebutuhannya
pada saat itu. Setelah sebagian hutang dibayar lunas oleh debitur
hipotik tidak dihapuskan, tetapi dibiarkan terus untuk keperluan
pengambilan kredit bagian berikutnya. Hipotik semacam ini lazim disebut
crediet hypotheek.
Hipotik untuk benda yang akan ada.
Berdasarkan Ps. 1175 ayat (1) BWI telah ditegaskan bahwa “hipotik hanya dapat dilepaskan-atas
benda-benda yang sudah ada. Hipotik atas benda-benda yang akan ada
dikemudian hariadalah batal”. Akan tetapi yurisprudensi dengan
mempergunakan lembaga crediet hypotheek memungkinkan terjadinya hipotik
dengan jaminan benda yang akan ada, dalam prakteknya sering terjadi
dalam hal pembangunan perumahan. Kredit diberikan sebagian demi sebagian
sesuai dengan kemajuan pembangunan rumah tersebut, sampai akhirnya
jumlah maksimum kredit tercapai dan rumah yang dijadikan jaminan yang
tadinya belum ada menjadi ada(selesai dibangun).
- Tingkatan-tingkatan hipotik
Sebidang tanah dapat dibebani lebih dari
satu hipotik. Susunan urutan dari para pemegang hipotik atas sebidang
tanah tertentu didasarkan atas tanggal pendaftaran hipotik pada Buku
Tanah di Kantor Pendaftaran Tanah. Kreditur yang hipotiknya dicatat
lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dengan ketentuan,
bila beberapa pemegang hipotik mendaftarkan hipotiknya pada hari yang
sama namun pada jam yang berbeda, mereka mempunyai kedudukan yang sama
(Ps. 1181 BWI). Tingkatan hipotik ini penting artinya untuk menentukan
hutang siapa yang harus didahulukan pembayarannya. Kalau benda hipotik
dijual, maka pemegang hipotik dibayar dengan uang hasil penjualan itu
sesuai dengan tingakatannya. Bilamana hasil penjualan itu tidak cukup
untuk membayar semua hutang para pemegang hipotik, maka yang lebih
dahulu dilunasi adalah hutang pemegang hipotik pertama. Kalau ada
sisanya baru dibayarkan kepada pemegang hipotik kedua, demikian
seterusnya sesuai dengan urutan tingkatannya. Tingkatan-tingkatan
hipotik tidak hanya berkaitan dengan pelunasan hutang pokok, melainkan
sekaligus dengan pelunasan bunga dari hutang pokok tersebut (Ps. 1184
BWI).
Hipotik merupakan hak atas harta kekayaan
yang dapat dialihkan, namun sebagai hak accessoir, peralihannya tidak
mungkin terjadi terlepas dari piutang pokoknya. Dalam hal ini peralihan
piutang pokok yang dijaminkan dengan suatu hipotik yang berwujud
penjualan, penyerahan dan pemberian suatu hipotik menurut Ps. 1172 BWI
hanya dapat dilakukan melalui akta otentik yaitu akta notaris.
Selanjutnya peralihan tersebut harus diberitahukan kepada Kepala Kantor
Pendaftaran Tanah untuk dilakukan pencatatan pada Buku Tanah dan
sertifikatnya. Peralihan hipotik tidak berarti hapusnya hutang debitur,
yang terjadi hanyalah perubahan pemegang hipotik.
Berdasarkan Ps. 1209 BWI, hipotik hapus karena hal-hal sebagai berikut :
1. Hapusnya perjanjian hutang pokok.
Kasus ini merupakan
cara hapusnya hipotik yang paling sering terjadi dibandingkan dengan
cara yang lainnya.. Hapusnya perhutangan (perjanjian) pokok
mengakibatkan hapusnya hipotik sebagai hak accessoir (Ps. 1381 BWI)
2. Pelepasan hipotik oleh debitur3. Karena keputusan hakim
Diluar Ps. 1209 BWI tersebut di atas masih terdapat banyak cara lain yang mengakibatkan hapusnya hipotik antara lain :
- Karena hapusnya benda yang dihipotikkan.
Bilamana suatu hak atas
tanah yang dibebani hipotik habis karena jangka waktunya telah selesai
maka hipotik atas tanah itu juga menjadi hapus;
- Karena adanya percampuran hutang, yakni pemegang hipotik menjadi pemilik benda yang dihipotikkan; dalam hal ini berarti penerima hipotik statusnya juga menjadi pemberi hipotik;
- Karena berakhirnya hak dari pemberi hipotik sebagai diatur dalam Ps. 1169 BWI;
- Karena berakhirnya jangka waktu hipotik;
- Karena dipenuhinya syarat batal untuk mana hipotik diberikan;
- Karena adanya pencabutan hak atas barang yang dihipotikkan;
Di dalam UUPA terdapat juga ketentuan
mengenai hapusnya hipotik terhadap hak-hak atas tanah yang dituangkan
dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor DA 10/241/10 tanggal 27
Oktober 1970 tentang hapusnya hak atas tanah yang dibebani hipotilk dan
tanahnya kembali dalam kekuasaan negara.
Kemungkinan terjadi hapusnya hak atas tanah itu adalah karena :
- Karena waktunya berakhir;
- Karena Dipenuhinya salah satu syarat batal, walaupun jangka waktu hak yang bersangkutan belum berakhir;
- Karena dicabut untuk kepentingan umum;
- Karena pelepasan secara sukarela oleh pemilik hak atas tanah yang bersangkutan.
Dengan hapusnya hak atas tanah yang
dibebani hipotik tidak mengakibatkan hapusnya perhutangan pokoknya
berupa perjanjian pinjam meminjam uang. Yang hapus hanyalah hipotiknya
saja, sehingga kreditur bukan lagi merupakan kreditur yang preference.
Pencoretan (roya)
Jika hipotik hapus maka dilakukan
pencoretan / roya terhadap daftar hipotik pada Buku Tanah. Pencoretan
hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan antara pihak-pihak yang
bersangkutan atau atas keputusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap (Ps. 1195 BWI). Dalam praktek perbankan,
hapusnya hipotik ini diberitahukan secara resmi oleh pihak bank kepada
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah untuk dapat dilakukan pencoretan atas
permintaan pihak yang berkepentingan. Pencoretan dilakukan oleh Kepala
Kantor Pendaftaran Tanah setelah menerima surat tanda bukti hapusnya
hipotik (Ps. 29 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961). Atas
dasar permintaan pencoretan, maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
mencatat pada Buku Tanah Hipotik bahwa jipotik seluruhnya dihapuskan.
Kemudian pada Buku Tanah dan sertifikat tanah dicatat bahwa hipotik pada
tanggal, bulan, tahun sekian dengan nomor sekian, dihapuskan (Peraturan
Menteri Agraria Nomor 7 Tahun 1961 Ps. 47). Perbedaan antara gadai dan
hipotik
C. Fidusia
Dasar hukumnya adalah Undang
Undang No.42 Tahun 1999 tentang Fidusia.Dalam hokum Romawi terdapat
semacam hak gadai yang dinamakan fidutia, yaitu suatu pemindahan hak
milik dengan perjanjian bahwa benda akan dikembalikan apabila si
berhutang sudah membayar lunas hutang dan bunganya. Selama hutang belum
dibayar kreditur menjadi pemilik benda yang dijaminkan itu. Sebagai
pemilik, ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu kepada
debitur sehingga orang yang berhutang ini tetap menguasai bendanya.Dari
asal katanya, fidusia berarti Kepercayaan, sehingga dapat diartikan
bahwa fidusia merupakan lembaga kaminan atas dasar kepercayaan, tanpa
harus menyerahkan fisik suatu benda yang dijaminkan .Syaratnya harus ada
perjanjian peralihan hak.
Perjanjian Peralihan Hak tersebut bisa berupa constitutum possessorium untuk benda bergerak berwujud, atau cessie, untuk benda bergerak tidak berwujud (hutang piutang). Constitutum possessorium
adalah penyerahan suatu hak milik tanpa menyerahkan fisik benda yang
bersangkutan. Adapun tahapan perjanjian peralihan hak itu ada tiga,
masing masing :
- Perjanjian Obligatoir, merupakan perjanjian utama yang karena adanya perjanjian pinjaman (hutang piutang) ini, maka ada jaminan fidusia dari pihak peminjam ;
- Perjanjian Kebendaan, dimana melalui perjanjian ini terjadi penyerahan hak milik atas benda yang bersangkutan dari debitur kepada kreditur , baik secara constitutum possessorium maupun secara cessie .
- Perjanjian Pinjam Pakai, dimana melaui perjanjian ini maka benda obyek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada kreditur, dipinjam-pakaikan oleh kreditur kepada debitur, sehingga benda tersebut se-olah olah masih berada dibawah kekuasaan debitur.
Akta Jaminan Fidusia harus berupa
Akta Notaris, dibuat dalam bahasa Indonesia dan berisi hal hal yang
perlu dijelaskan seperti identitas penerima dan pemberi fidusia, data
tentang perjanjian pokoknya, nilai hutang piutang terkait, benda yang
dijaminkan serta besarnya nilai benda yang dijaminkan,dengan syarat
benda yang dijaminkan harus benda bergerak, baik berwujud maupun tidak
berwujud .
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perdata Indonesia” , PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000
F.X. Suhardana , “Hukum Perdata I, Buku Panduan Mahasiswa”, P.T.Prenhallindo, Jakarta. 2001
R. Subekti, SH, “Pokok-Pokok Hukum Perdata” , P.T. Internusa, Jakarta, 2001
R. Subekti, SH, Prof. , “Perbandingan Hukum Perdata” , Pradnya Paramita, Jakarta, 2001
Ridwan Syahrani, “Seluk Beluk Hukum dan Azas-Azas Hukum Perdata” , Penerbit Alumni, Bandung, 2000.