Sabtu, 02 Juni 2012

kaidah Muamalah

haduuuhhh ada tugas mencari 75 kaidah fiqh muamalah, bete banget waktu dengernya, mana disuru tulis tangan pula ..
huft lumayan susah juga nyari tugas yang satu ini, alhasil setelah googling dan tanya teman teman dapet dehh

apa sih kaidah itu ?
kaidah adalah batasan perbuatan/peristiwa hukum. kaidah muncul dari sejumlah peristiwa yang mempunyai kesamaan. menurut Abu Zahro, "kaidah adalah kumpulan hukum yang beragam yang bisa dikembalikan kepada ikatan yang satu"


TUGAS
FILSAFAT HUKUM ISLAM
KAIDAH MUA’MALAH

Dosen :Dr. H. Atang Abdul Hakim M.Ag


Oleh : Ersa Rahma Safitri (1210302045)
Mua’malah ( Perbankan Syariah)/A/IV






SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012

Kaidah kaidah Fiqh Muamalah


1.       

الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal  semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”

            Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
2.       

الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”

            Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akd tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.


3.       
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:

الأَصْلُ فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
4.       

لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada seorang punboleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”

            Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang di jual atau wakil dari pemilik barang atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.

5.       

البَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”

            Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.



6.       

الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu.”

            Seperti telah dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.

7.       

الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.”

            Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
            Contoh, seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.

8.       
                                                                                                                                   
الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”
            Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang di kkeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
            Contonya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.

9.       

الغَرْمُ بِالغَنْمِ
“Resiko itu menyertai Manfaat.”

            Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik barang.

10.   
                                                                                                                                    
إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”

            Contonya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
11.   

العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut.”

            Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
12.   

كُلُّ مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ

“Setiap akad Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara.”

            Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.

13.   

 الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”
            Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.

14.   

لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang.”

            Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.

15.   

الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ  
“Suatu hal yang dibolehkan oleh  syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”

            Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.

16.   

لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”

17.   
                                                                                                                                                            
كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”

            Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.

18.   

كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”

            Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.

19.   

كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”


20.   

مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
            Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.

21.   

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”

22.   
            Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”

23.   
إذَا بَطَلَ شَيْءٌ بَطَلَ مَا فِي ضِمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada seorang punboleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang di jual atau wakil dari pemilik barang atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.
24.   
لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”
25.   
كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
26.   
كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”
Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.

27.   
العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut.”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
28.   
كُلُّ مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
“Setiap akad Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara.”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
29.   
 الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.
30.   
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal  semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
31.   
الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akd tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
32.   
البَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”
Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
33.   
لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang.”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
34.   
الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ  
“Suatu hal yang dibolehkan oleh  syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.
35.   
الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu.”
Seperti telah dikemukakan bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
36.   
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh, seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.
37.   
إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”
Contonya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
38.   
كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
39.   
الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang di kkeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contonya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
40.   
الغَرْمُ بِالغَنْمِ
“Resiko itu menyertai Manfaat.”
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik barang.
41.   
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya).”
42.   
لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ
“tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari’atkan oleh allah, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh allah”.
43.   
مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
44.   
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”
            Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
45.   
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”
46.   
إذَا بَطَلَ شَيْءٌ بَطَلَ مَا فِي ضِمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
47.   
الأَصْلُ فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
48.   
لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ
Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari’atkan oleh allah, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh allah.”
49.        الأَصْلُ هُوَ الْعَدْلُ فِيْ كُلِّ الْمُعَامَلاَتِ وَ مَنْعُ الظُّلْمِ وَمُرَاعَاةُ مَصْلَحَةِ الطَّرَفَيْنِ وَرَفْعُ الضَّرَرِ عَنْهُمَا
“asal setiap muamalah adalah adil dan larangan berbuat zalim serta memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak dan menghilangkan kemudharatan”
50.   
                               الاْ صل فى المعا ملة الاء با حة الا ان يد ل د ليل على تحر يمها
“hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.

51.   Ibnu taimiyah menggunakan ungkapan lain:
الاْصل في العا د ا ت العفو فلا يحظر منه الا ما حر م الله
Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang diharamkan kecuali apa yang diharamkan allah swt”.

52.   
لايتم التبرع الا باليقين
Transaksi belum sempurna sebelum benda yang diakadkan diyakini.”
53.   
ما يجوز اكله لايجوز حمله
Sesuatu yang boleh dimakan tidak boleh dibawa”
54.   
ما يجوز استعماله لايجوز بيعه
Sesuatu yang boleh digunakan tapi tidak boleh dijual.”
55.   
ما يجوز استعماله لايجوز نقشه
Sesuatu yang boleh digunakan tapi tidak boleh diukir.”
56.   
ما يجوز استعماله لايجوز احلاكه
Sesuatu yang boleh digunakan tapi tidak boleh dirusak.”
57.   
وشيله الحرام  مجرمة فوسله الوجب واجبة
Perantara perbuatan haram maka diharamkan dan pelantara perbuatan wajib, maka diwajibkan.”
58.   
العبرة فى العقود للمقا صد والمعانى لاللالفاض والمبانى
Pegangan dalam transaksi adalah maksud dan maknanya bukan lapadz dan bentuknya.”
59.   
كل قر ض جر نفعا فهو حرا م
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram”.
60.   
كل قر ض جر منفعة فهو ر با
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba”.

61.   
ما جا ز بيعه جا ز رهنه
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”.
62.   
كل ما صح الر هن به صح ضما نه
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
63.   
كل شر ط كا ن من مصلحة العقد او من مقتضا ه فهو جا ئز
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan”.
64.   
كل قبو ل جا ئز ان يكو ن قبلت
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”.
65.   
لا يتم التبر ع الا بالقبض

“Tidak sepurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”.

66.   
الجو ا ز الشر عى ينا فى الضما ن
“Sesuatu hal yang di bolehkan oleh syara’ tidak dapat di jadikan objek tuntutan ganti rugi”.

67.   
لا ينز ع شئ من يد ا حد الا بحق ثا بت

“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap”.

68.   
    الاْ صل في العقد ر ضى المتعا قدين و نتيجته ما التز ما ه با لتعا د

“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”.
69.   
المبا شر ضامن وان لم يتعمد
Pelaku secara langsung harus bertanggungjawab meskipun tidak disengaja.”
70.   
المتسبب لايدمن الا بالتعمد
Pelaku yang berbuat secara tidak langsung tidak dapat diminta pertanggungjawabkan kecuali pelakunya diperlakukan dengan sengaja.”
71.   
لايجوز لاحد ان ياءخد مال احد بلا سبب شرع
Seseorang tidak bolehkan mengambil harta orang lain tanpa sebab yang diperbolehkan oleh  syara.”

72.   
ما اجتمع الحلال والحرام الا غلب الحرام الحلال
Tidaklah berkumpul halal dan haram kecuali yang haram menghalalkan yang  halal.”
73.   
كل ما يصح تاْ بيد ه من العقو د المعا و ضا ت فلا يصح تو قيته
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara”.
74.   
الاْ مر با لتصر ف في ملك الغير با طل
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal”.

75.   
الاْ جر و الضما ن لا يجتمعا ن
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”.

76.   
الأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Asal dalam syarat-syarat yang ditetapkan dalam muamalah adalah halal dan mubah kecuali ada dalil yang mengharamkanya.”
77.   
النعمة بقدر النقمة والنقمه بقدر النعمة
“keuntungan  sepadan dengan kerugian, dan kerugian sepadan dengan keuntungan. ”


tentunya masih banyak lagi kaidah kaidah diluar sana , hehe
kalo ada yang tau lebih dari ini mohon share ya
sekian***

1 komentar:

Unknown mengatakan...

daftar pustakanya mana?

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar