huft lumayan susah juga nyari tugas yang satu ini, alhasil setelah googling dan tanya teman teman dapet dehh
apa sih kaidah itu ?
kaidah adalah batasan perbuatan/peristiwa hukum. kaidah muncul dari sejumlah peristiwa yang mempunyai kesamaan. menurut Abu Zahro, "kaidah adalah kumpulan hukum yang beragam yang bisa dikembalikan kepada ikatan yang satu"
TUGAS
FILSAFAT HUKUM ISLAM
KAIDAH MUA’MALAH
Dosen :Dr. H. Atang Abdul Hakim M.Ag

Oleh
: Ersa
Rahma Safitri (1210302045)
Mua’malah ( Perbankan Syariah)/A/IV
SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
Kaidah
kaidah Fiqh Muamalah
1.
الأَصْلُ فِي
المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ دَلِيْلٌ عَلىَ
تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal semua bentuk muamlah
adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada
dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah
dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas
diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
2.
الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا
إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum asal dalam transaksi adalah
keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang
dilakukan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi
barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya.
Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau
dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling
meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang
keridhaannya, maka akd tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang
merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
3.
Ungkapan yang lebih
singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأَصْلُ فِي
العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar
dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
4.
لاَ يَجُورُ
لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada seorang punboleh melakukan
tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang di jual
atau wakil dari pemilik barang atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya.
Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.
5.
البَا طِلُ لاَ
يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad
yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”
Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi.
Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah
satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga
keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan
oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah
Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad
yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan
sistem bunga.
6.
الإِجَازَةُ
اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang datang kemudian sama
kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu.”
Seperti telah dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak
boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya.
Tetapi berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta
milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum
itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik
harta.
7.
الأَجْرُ
وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk
mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah
mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau
membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh, seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi
si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang
mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti
kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.
8.
الجَرَاجُ
بِالضَّمَانِ
“Manfaat
suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang di kkeluarkan baik manfaat benda maupun
pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti
pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman
adalah ganti rugi.
Contonya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si
penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab,
penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
9.
الغَرْمُ
بِالغَنْمِ
“Resiko
itu menyertai Manfaat.”
Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung
resiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari
penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam
barang maka dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos
pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang,
dibebankan kepada pemilik barang.
10.
إِذَا بَطَلَ
الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila
sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”
Contonya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli
telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah
pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi
batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli
harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga
barangnnya.
11.
العَقْدُ عَلَى
الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad
yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut.”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula
berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Bahkan sekarang, objeknya
bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang
objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan
syaratnya sama.
12.
كُلُّ مَايَصِحُّ
تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
“Setiap akad Mu’awadhah yang sah
diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara.”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing
memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual)
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak
lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap
barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi
waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya
dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
13.
الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
“Setiap perintah untuk bertindak hukum
terhadap hak milik orang lain adalah batal.”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi
terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri,
maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan
kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah
tersebut adalah batal.
14.
لاَيَتِمُّ
التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak
sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang.”
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti
hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya
dilaksanakan.
15.
الجَوَازُ
الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ
“Suatu hal yang dibolehkan oleh
syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan
atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si
A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya
jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut
ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan
oleh syariah.
16.
لاَيُنْزَعُ
شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari
tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”
17.
كُلُّ قَبُولٍ
جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap
kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli,
sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah
terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti
saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan
“saya terima”.
18.
كُلُّ شَرْطٍ
كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad
atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”
Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang
gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk
menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
19.
كُلُّ مَاصَحَّ
الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap
yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
20.
مَاجَازَ
بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Apa
yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan
tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
21.
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat
(oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”
22.
Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat
(oleh kreditor) adalah haram.”
23.
إذَا
بَطَلَ شَيْءٌ بَطَلَ مَا فِي ضِمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada
dalam tanggungannya”
لاَ
يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada seorang punboleh
melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”
Atas
dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang di jual atau
wakil dari pemilik barang atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada
hak orang lain pada barang yang dijual.
24.
لاَيُنْزَعُ
شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu benda tidak
bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang
telah tetap.”
25.
كُلُّ
قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap
kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
Sesungguhnya
berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa,
dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan
tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang
ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
26.
كُلُّ
شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
“Setiap syarat untuk
kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut
dibolehkan.”
Contonya
seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak
ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya.
Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
27.
العَقْدُ
عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya
suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut.”
Objek
suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula
berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Bahkan sekarang, objeknya
bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang
objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan
syaratnya sama.
28.
كُلُّ
مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ
تَوْقِيْتُهُ
“Setiap
akad Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara.”
Akad
mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing
memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual)
berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak
lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap
barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi
waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya
dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
29.
الأَمْرُ
بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
“Setiap
perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”
Maksud
kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap
milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka
hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada
bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah
tersebut adalah batal.
30.
الأَصْلُ
فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ دَلِيْلٌ عَلىَ
تَحْرِيْمِهَا
“Hukum
asal semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
Mengharamkannya.”
Maksud
kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya
boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan
Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan
seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
31.
الأَصْلُ
فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ
بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum
asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”
Keridhaan
dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah
sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah
suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau
juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi
kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akd
tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena
dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
32.
البَا
طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad
yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”
Akad
yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu
pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga
keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan
oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah
Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad
yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa
menggunakan sistem bunga.
33.
لاَيَتِمُّ
التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak
sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang.”
Akad
tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah
atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya
dilaksanakan.
34.
الجَوَازُ
الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ
“Suatu
hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan
ganti rugi.”
Maksud
kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau
meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A
menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh
ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti
rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh
syariah.
35.
الإِجَازَةُ
اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin
yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan
lebih dahulu.”
Seperti
telah dikemukakan bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum
terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan
kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain,
dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi
sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
36.
الأَجْرُ
وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian
upah dan tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.”
Yang
disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti
dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar
seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh,
seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si
penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang
mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti
kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.
37.
إِذَا
بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila
sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”
Contonya,
penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah
menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak
membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan
hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus
mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
38.
كُلُّ
مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap
yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
39.
الجَرَاجُ
بِالضَّمَانِ
“Manfaat
suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”
Arti
asal al-kharaj adalah sesuatu yang di kkeluarkan baik manfaat benda maupun
pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti
pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman
adalah ganti rugi.
Contonya,
seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual
tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan
binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
40.
الغَرْمُ
بِالغَنْمِ
“Resiko
itu menyertai Manfaat.”
Maksudnya
adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya
notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk
ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka
dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda
dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik
barang.
41.
اَلأَصْلُ
فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“hukum
asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya
(memakruhkannya atau mengharamkannya).”
42.
لاَ
تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ
بِتَحْرِيْمِ اللهِ
“tidak
boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari’atkan oleh allah, dan tidak
dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh allah”.
43.
مَاجَازَ
بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Apa
yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
Sudah
barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi
tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
44.
كُلُّ
قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap
pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”
Kadi
Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
45.
كُلُّ
قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap
pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”
46.
إذَا
بَطَلَ شَيْءٌ بَطَلَ مَا فِي ضِمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada
dalam tanggungannya”
Ungkapan
yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
47.
الأَصْلُ
فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar
dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
48.
لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ
اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ
“Tidak
boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari’atkan oleh allah, dan tidak
dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh allah.”
49. الأَصْلُ هُوَ الْعَدْلُ فِيْ كُلِّ
الْمُعَامَلاَتِ وَ مَنْعُ الظُّلْمِ وَمُرَاعَاةُ مَصْلَحَةِ الطَّرَفَيْنِ
وَرَفْعُ الضَّرَرِ عَنْهُمَا
“asal
setiap muamalah adalah adil dan larangan berbuat zalim serta memperhatikan
kemaslahatan kedua belah pihak dan menghilangkan kemudharatan”
50.
الاْ صل فى المعا ملة الاء با حة الا ان يد ل د
ليل على تحر يمها
“hukum asal dalam semua
bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
51. Ibnu taimiyah menggunakan ungkapan lain:
الاْصل
في العا د ا ت العفو فلا يحظر منه الا ما حر م الله
“Hukum asal dalam muamalah adalah pemaafan, tidak ada yang
diharamkan kecuali apa yang diharamkan allah swt”.
52.
لايتم التبرع الا باليقين
“Transaksi belum sempurna sebelum
benda yang diakadkan diyakini.”
53.
ما يجوز اكله لايجوز حمله
“Sesuatu yang boleh dimakan tidak
boleh dibawa”
54.
ما يجوز استعماله لايجوز بيعه
“Sesuatu yang boleh digunakan
tapi tidak boleh dijual.”
55.
ما يجوز استعماله لايجوز نقشه
“Sesuatu yang boleh digunakan
tapi tidak boleh diukir.”
56.
ما يجوز استعماله لايجوز احلاكه
“Sesuatu yang boleh digunakan
tapi tidak boleh dirusak.”
57.
وشيله الحرام مجرمة فوسله الوجب واجبة
“Perantara perbuatan haram maka
diharamkan dan pelantara perbuatan wajib, maka diwajibkan.”
58.
العبرة فى العقود للمقا صد والمعانى
لاللالفاض والمبانى
“Pegangan dalam transaksi adalah
maksud dan maknanya bukan lapadz dan bentuknya.”
59.
كل قر ض جر نفعا فهو حرا م
“Setiap pinjaman dengan
menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram”.
60.
كل قر ض جر منفعة فهو ر با
“Setiap pinjaman dengan
menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba”.
61.
ما جا ز بيعه جا ز رهنه
“Apa yang boleh dijual
boleh pula digadaikan”.
62.
كل ما صح الر هن به صح ضما نه
“Setiap yang sah
digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
63.
كل شر ط كا ن من مصلحة العقد او من مقتضا
ه فهو جا ئز
“Setiap syarat untuk
kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut
dibolehkan”.
64.
كل قبو ل جا ئز ان يكو ن قبلت
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”.
65.
لا يتم التبر ع الا بالقبض
“Tidak
sepurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”.
66.
الجو ا ز الشر عى ينا فى الضما ن
“Sesuatu
hal yang di bolehkan oleh syara’ tidak dapat di jadikan objek tuntutan ganti
rugi”.
67.
لا ينز ع شئ من يد ا حد الا بحق ثا
بت
“Sesuatu
benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan
hukum yang telah tetap”.
68.
الاْ صل في العقد ر ضى المتعا قدين
و نتيجته ما التز ما ه با لتعا د
“Hukum asal dalam
transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah
berlaku sahnya yang diakadkan”.
69.
المبا شر ضامن وان لم يتعمد
“Pelaku secara langsung harus
bertanggungjawab meskipun tidak disengaja.”
70.
المتسبب لايدمن الا بالتعمد
“Pelaku yang berbuat secara tidak
langsung tidak dapat diminta pertanggungjawabkan kecuali pelakunya diperlakukan
dengan sengaja.”
71.
لايجوز لاحد ان ياءخد مال احد بلا
سبب شرع
“Seseorang tidak bolehkan
mengambil harta orang lain tanpa sebab yang diperbolehkan oleh syara.”
72.
ما اجتمع الحلال والحرام الا غلب
الحرام الحلال
“Tidaklah berkumpul halal dan
haram kecuali yang haram menghalalkan yang
halal.”
73.
كل
ما يصح تاْ بيد ه من العقو د المعا و ضا ت فلا يصح تو قيته
“Setiap
akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara”.
74.
الاْ
مر با لتصر ف في ملك الغير با طل
“Setiap
perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal”.
75.
الاْ
جر و الضما ن لا يجتمعا ن
“Pemberian
upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”.
76.
الأَصْلُ
فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
“Asal
dalam syarat-syarat yang ditetapkan dalam muamalah adalah halal dan mubah
kecuali ada dalil yang mengharamkanya.”
77.
النعمة بقدر النقمة والنقمه بقدر
النعمة
“keuntungan sepadan dengan kerugian, dan kerugian sepadan
dengan keuntungan. ”
tentunya masih banyak lagi kaidah kaidah diluar sana , hehe
kalo ada yang tau lebih dari ini mohon share ya
sekian***
kalo ada yang tau lebih dari ini mohon share ya
sekian***
1 komentar:
daftar pustakanya mana?
Posting Komentar