Pengertian Ulumul Qur’an
Ungkapan “ulum
Al-Qur’an” berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum”
dan Al-Qurian”. Kata “Ulum” merupakan bentuk jamak dari kata ilmu. Ilmu disini,
sebagaimana didefinisikan Abu Syahbah adalah sejumlah materi pembahasan yang
dibatasi kesatuan tema atau tujuan, sedangkan al-qur’an, sebagaimana
didefinisikan uluma Ushul. ulama Fiqh dan ulama bahasa adalah:
كَلاَمُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى نَبَيْهِ
(مُحَمَّدِ) ص.م الْمُعْجِزَةُ بِتِلاَوَتِهِ المَنْقُوْلِ بِالبتَّوَاتُرِ
الءمَكْتُوْبِ فِى الْمَصَاحِفِ مِنْ أَوَّلِ سُوْرَةِ الْفِاتِحَةِ إِلَى أَخِرِ
سُوْرَةِالنَّاسِ
“Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad, yang lafdz-lafadznya mengandung mukjizat,
membacanya nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis
pada mushaf, mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat An-nass.
Menurut Manna
Al-Qaththan:
كَلاَمُ اللهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى نَبَيْهِ
(مُحَمَّدِ) ص.م الْمُعْتَمَدُ بِتِلاَوَتِهِ
“Kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan membacanya memperoleh pahala”.
Dengan demikian, secara bahasa Ulumu Al Qur’an
adalah ilmu (pembahasan-pembahasan) yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Sedangkan
pengertian Ulumul Qur’an secara istilah, menurut Abu Syahbah:
عِلْمُ ذُوْ مَبَاحِثِ تَتَعَلَّقُ بِالْقُرْاَنِ ال}كَرِيْمِ مِنْ
حَيْثُ نُزُلِهِ وَتَرْتِيْبِهِ وَكِتَابِهِ وَجَمْعِهِ وَقِرَاَتِهِ
وَتَفْسِيْرِهِ وَإِعْجَازِهِ وَنَاسِخِهِ وَمَنْسُوْخِهِ وَمُحْكَمهِ
وَمُتَشَابِهِهِ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَبَاحِثِ الَّتِى تُذْكَرُ فِى
هَذاالْعِلْمِ
“Sebuah ilmu yang memiliki banyak objek
pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an, mulai proses penurunan, urutan
penulisan, penulisan, kodifikasi, cara membaca, penafsiran, kemukzijatan,
nasikh manukh, muhkam mutasyabih, sampai pembahasan-pembahasan lain”.
Allah telah melukiskan Qur’an dengan beberapa sifat, di antaranya:
nur(cahaya), Huda (petunjuk), Syifa (obat), Rahmah (rahmat), Mau’izah
(nasihat), mubin (yang menerangkan), Mubarak (yang diberkahi), Busyra (khabar
gembira), aziz (orang mulia), majid (yang dihormati).
Wahyu atau al-Wahy
adalah kata masdar dan materi kata itu menujukkan dua pengertia dasar, yaitu
tersembunyi dan cepat. wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat
yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Sedangkan wahyu Allah para nabi-Nya secara Syra’ mereka definisika sebagai
kalam Allah yang diturunkan kepada nabi.
SEJARAH TURUNYA AL-QUR’AN
Al-Qur’an
diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu malam 17 Ramadhan tahun
41 dari kelahiran nabi, sampai 9 dzulhijjah Haji wada’ tahun 63 dari kelahiran
nabi atau tahun 10 H.
Proses
turunnya Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW, adalah melalui tiga tahapan,
yaitu:
1. Al-Qur’an
turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al mahfudz, yaitu suatu tempat yang
merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Q.S al-Buruj:
21-22.
2.
Al-Qur’an diturumkan
dari lauh mahfudz itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia).
Q.S al-qadar:1
3. Al-Qur’an
diturunkan dari bait al-izza ke dalam hati Nabi dengan jalan bernagsur-angsur
sesuai dengan kebutuhan. Ada kalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan
kadang-kadang satu surat.
Al-qur’an
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril tidak secara
sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan serinh wahyu turun
untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepad nabi atau untuk
membenarkan tindakan nabi SAW. Di samping itu pula banyak pula ayat surat yang
diturunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu.
PROSES PENULISAN AL-QUR’AN
1. Pada
Masa Nabi, sanagat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan
berupa lontaran kayu, pelapah kurma, tulang berulang dan batu. Kegiatan tulis
menulis al-qur’an pada masa nabi di smaping dilakukan oleh para sekertaris (Abu
Bakar, umar, utsman, ali, abban bin said, Khlaid bin al-walid dan muawiyyah)
nabi,juga dilakukan para sahabat lainnya. Factor mrendorong penulisan: pertama,
mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh nabi dan sahabatnya dan
mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari
hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau
sebagian dari mereka sudah wafat.
2. Pada
masa Abu Bakar, motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya al-qur’an dengan
syahidnya beberapa penghapal al-qur’an pada perang yamamah. Dan abu bakar
melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan al-qur’an yang
terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang dan sebagainya.
3. Pada
masa Utsman, motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di
dalam cara membaca al-Qur’an. Dana utsman melakukannya dengan menyederhanakan
tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya al-quran turun.
MUHKAM DAN MUTASYABIH
Muhkam
berarti (sesuatu) yang dikokohkan. Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan
dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari
yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah muhkam
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: Q.S Hud ayat 1.
Qur’an
itu seluruhnya muhkam, maksudnya qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih (indah
dan jelas) dan membedakan antara yang hak dengan yang bathil dan antara yang
benar dengan yang dusta.
Mutasyabih
secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa
dengan yang lain. dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu
tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya
secara konkrit maupun abstrak.. jadi tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian
perkataan, karena sebagaimananya membetulkan sebagian yang lain. Seluruhnya
ayat al-qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah Q.S Az-zumar; ayat
23.
Denagan
demikian maka qur’an itu seluruhnya mutasyabih, maksudnya qur’an itu sebagian
kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan
keindahnnya, dan sebagainnya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula
maknanya.
Mengenai
pengertian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang
terpenting diantaranya sebagai berikut:
1. Muhkam
adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanyalah
diketahui maksudnya oleh Allah.
2.
Muhkam adalah ayat yang
hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah.
3.
Muhkam adalah ayat yang
maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain,
sedang mutasyabih tidak demikian, ia memerlukan penjelasan dengan merujuk
kepada ayat-ayat lain.
ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan
asbab an-nuzul merupakan bentuk idhofat dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara
etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya
sesuatu. Sedangkan Asbab An-nuzul secara istilah menurut Manna’ Al-Qathan
adalah:
“Asbab An-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan
turunnya Al-Qur’an berekenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik
berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi
Muhammad.”
Urgensi
asbab an-nuzuk dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut:
1. Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan-pesan
ayat-ayat al-qur’an.
2.
Mengatasi keraguan ayat
yang diduga menagndung pengertian umum.
3.
Mengkhususkan hokum
yang terkandung dalam ayat al-qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang
menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus (khusus as-sabab) dan bukan
lafadz yang bersifat umum (umum al-lafadz).
4.
Mengidentifikasi pelaku
yang menyebabkan ayat al-Qur’an turun.
5. Memudahkan
untuk menghapal dan memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati
orang yang mendengarnya.
NASKH DAN MANSUKH
Secara
lugawi, ada empat makna naskh yang sering diungkapkan ulama, yaitu:
1. Izalah
(menghilangkan), Q.S al-hajjj: 52
2.
Tabdil (penggantian),
Q.S An-nahl: 101
3.
Tahwil (memelingkan)
4. Naql
(memindahkan dari sesuatu ke tempat lain)
Mansukh adalah hokum
yang diangkat atau dihapuskan. Mkaka ayat mawarits atau hokum yang terkandung
di dalmnya, misalnya adalah mengahpuskan (naskh) sebagaimana hokum wasiat
kepada kedua orang tua atau kerabat (mansukh) sebagaimana akan dijelaskan. Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh diperlukan syarat-syarat
berikut:
1. Hokum
yang mansukh adalah hokum syar’a
2.
Dalil penghapusan hokum
tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari khitab yang
hukumnya mansukh.
3.
Khitab yang mansukh
hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab jika tidak
demikian maka hokum akan berakhir dengan benign berakhirnya waktu tersebut. Dan
yang demikian tidak dinamakn naskh.
RUKUN dan SYARAT
1. Adat
naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hokum yang telah
ada.
2.
Nasikh, yaitu dalil
kemudian yang menghapus hokum yang telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu
berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hokum dan dia pulalah yang
mengahpusnya.
3.
Mansukh, yaitu hokum
yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.
4. Mansukh
anh, yaitu orang yang dibebani hokum.
Syarat-Syarat Naskh adalah:
1. Yang
dibatalkan adalah hukm syara’
2.
Pembatalan itu
datangnya dari tuntutan syara’
3.
Pembatalan hokum tidak
disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakukan hokum, seperti perintah Alkah
tentang kewajiban berpuasa tidak berarti di naskh setelah selesai melaksanakan
puasa tersebut.
4. Tuntunan
yang mengandung naskh harus datang kemudian.
Adapula dua lapangan yang tidak diterima naskh harus
datang kemudian:
1. Seluruh
khabara/aqidah baik dalam al-qur’an maupun as-sunnah. Sebab, pembatalan khabar
berarti mendustakan khabar itu sendiri, sedangkan Al-qur’an dan as-sunnah
mustahil memuat kebohongan.
2. Hukum-hukum
yang disyariatkan secara abadai.
Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh
1. Penjelasan
lansung dari Rasulullah
2.
Dalam suatu nasikh
terkadang terdapat keterangna yang menyatakan bahwa vsatu nash diturunkan
terlebih dahulu.
3. Berdasarkan
keterangan dari periwayat hadits yang menyatakan satu hadits dikeluarkan tahun
sekian dan hadits lain dukeluarkan tahun sekian.
Dasar-dasar Penetapan Nasikh dan Mansukh
a. Melalui
pentrasmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari nabi atau para sahabatnya.
b.
Melalui kesepakatan
umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
c. Melalui
studi sejarah, mana ayat yang lebih belakng turun, karenanya disebut mansukh.
Bentuk dan Macam Naskh dalam Al-qur’an
1. Naskh
sharih, ayat yang secara jelas mengahpus yang terdapat pada ayat terdahulu.
2.
Naskh Dhimmy, jika
terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan
keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-duanya diketahui
waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menhhapus ayat yang terdahulu.
3.
Naskh kully, menghapus
hokum yang sebelumnya secara keseluruhan.
4. Naskh
juz’I yaitu menghapus hokum umum yang berlaku bagi semua indivisu dengan hokum
yang hanya berlaku bagi sebagian individuy, atau menghapus hokum yang bersifat
muthlaq dengan hokum yang muqayaad.
Hikmah Keberadaan Naskh
1. Menjaga
kemaslahatan hamba
2.
Pengembangan
pensyariatan hokum sampai pada tingkat kesempurnaan seiring dengan perkembangna
dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3.
Menguji kualitas
keimanan mukallaf dengan cara adanya suruhan yang kemudian dihapus.
4.
Merupakan kebaikan dan
kemudahan bagi umat.
MAKKIYAH DAN MADANIYYAH
Empat
sarjana muslim mengemukakan persfektif dalam mendefinsikan terminology
Makkiyyah dan Madaniyyah. Keempat persfektif itu adalah:
1. Dari
persfektif masa turun,
“Makkiyyah
ialah ayat ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke madinah, kendatipun
bukan turun di mekah, sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun setelah
peristiwa hijrah ke madinah, kendatipun bukan turun di madinah. Ayat-ayat yang
turun setelah peristiwa hijrah disebut madaniyyah walaupun turun di mekah atau
arafah.
2.
Dari persfektif tempat
turun
Makkiyah
ialah ayat-ayat yang turun di mekah dan sekitarnya seperti mina, arafah dan
hudaybiyah, sedangkan madaniyyah adalah ayat0ayat yang turun di madinah dan
sekitarnya, seperti uhud, quba dan sul’a.
3.
Dari persfektif objek
pembicaraan
Makkiyah
adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang mekah, sedangkan
madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang madinah.
4. Dari
persfektif tema pembicaraan
Cara-cara mengetahui Makkiyah dan madaniyyah
1. Pendekatan
Transmisi (periwayatan), merujuk kepada riwayat-riwayat valid yang berasal dari
para sahabat, yaitu orang-orang yang besar kemungkinan menyaksikan turunnya
wahyu atau generasi tabiiin yang saling berjumpa dan mendengar langsung dari
para sahabat tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan proses kewahyuan
al-qur’an, termasuk didalmnya adalah informasi kronologis al-qur’an.
2. Pendekatan
analogi, bertolak dari cirri-ciri spesifik dari kedua klasifikasi itu. Dengan
demikian, bila dalam surat makkiyah terdapat sebuah ayat yang memiliki
cirri-ciri khusus madaniyyah, ayat ini termasuk kategori ayat madaniyyah.
Ciri-ciri Sfesifikasi Makkiyah dan Madaniyyah
a. Makkiyah:
1. Didalmnya
terdapat ayat sajdah
2. Ayat-ayat
dimulai dengan “kalla”
3. Dimulai
dengan ungkapan “yaa ayyuhan nas”
4. Ayat-ayatnya
mengandung tema kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
5. Ayat-ayat
berbicara tentang kisah nabi adam dan iblis, kecuali surat albaqarah dan
6. Ayat-ayatnya
dimulai dengan huruf-huruf terpotong-potong seperti alif lammm mimm dan sebagaimnya,
kecuali surat al-baqarah dan ali imron
b.
Madaniyyah:
1. Mengandung
ketentuan fara’id dan had
2. Mengandung
sindiran-sindiran terhadap kaum munafik, kecuali suar al-ankabut
3. Mengandung
uraian tentang perdebatan dengan ahli khitab
Urgensi atau hubungan tentang makkiyah dan
madaniyyah
a. Membantu
dalam menafsirkan al-qur’an
b.
Pedoman bagi
lankah-langkah dakwah
c. Member
informasi tentng sirah nabi
MATSAL AL-QURAN ATAU PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN
Amsal
adalah bentuk jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah sama dengan
syabah, syibah dan syabih, baik lafadz maupun maknanya.
TAFSIR
Kata
“tafsir” diambil dari kata
“fassara-yufassiru-tafsira” yang berarti keterangan atau uraian. Bahasa
al-idhah (menjelaskan), al-bayan (menerangkan), al-Kasyf (mengungkap),
al-Idzhar (menampakkan) dan al-Ibanah (menjelaskan). Tafsir adalah suatu hasil
usaha tanggapan, penalaran dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai
samawi yang terdapat di dalam al-qur’an.
TAKWIL
Bahsa
ar ruju ila al ashli berarti kembali pada pokoknya. Sedangkan menurut istilah
adalah suatu usaha untuk memahami lafadz-lafadz ayat-ayat al-qur’an melelui
pendekatan memehami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafadzh itu.
TERJEMAH
Bahasa
adalah salinan dari sesuatu bahasa ke bahasa lain. Yang dimaksud dengan
terjemah al-qur’an adalah memindahkan al-qur’an kepada bahasa lain yang bukan
bahasa arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar dibaca
orang yang tidak mengerti bahasa arab sehingga ia dapat memahami kitab Allah
SWT dengan perantaraan terjemah ini.
Macam-macam Terjemah:
1. Terjemah
maknawiyyah tafsiriyyah, yaitu menerangkan makna atau kalimat dan
mensyarhkannya, tidak terikat oleh leterleknya, melainkan makna dan tujuan
kalimat aslinya.
2.
Terjemah harfiyyah bi
al-mitsil yaitu menyalin atau mengganti kata-kata dari bahsa asli dengan
kata-kata dari bahasa asli dengan kata sinonomnya (muradifnya) ke dalam bahasa
baru dan terikat oleh bahasa aslinya.
3. Terjemah
harfiyyah bi dzuni al-mitsil yaitu menyalin atau mengganti kata-kata bahasa
asli ke dalam bahasa lain dengan memperhatikan urutan makna dan segi satranya,
menurut kemampuan bahasa baru itu dan sejauh kemampuan penerjemahnya.
Macam-Macam Tafsir
1. Tafsir
bi al-Ma’tsur
Penafsiran
al-qur’an yang mendasarkan pada penjelasan al-qur’an sendiri, penjelasan rasul,
penjelasan sahabat melalui ijtihadnya dan aqwal tabi’iin.
Keistiewaan
nya adalah menekankan pentingnya abahasa dalam memahami al-qur’an, memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyamapikan pesan-pesanya, mengikat mufassir
dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus dalam
subjektivitas yang berlebihan. Sedangkan kelemahnnya adalah, terjadinya
pemalsuan dalam tafsir, msuknya unsure-unsur yahudi dan nasrani yang masuk
kedalam penafsiran al-qur’an, penghilangan sand, terjerumusnya sang mufasir ke
dalam urian kebahasaan dan kesastraan yang bertela-tele sehingga pokok
al-qur’an menjadi kabur.
2.
Tafsir bi Ar-ray’i
Tafsir
yang penjelasnnya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah
terlebih dahulu mengetahui bahasa arab serta metodenya, dalil hokum yang
ditunjukkan serta problema penafsiran seperti asbabun nuzul, nasikh dan
mansukh.
0 komentar:
Posting Komentar